Oleh
Yosafati Gulö
Terbesit
berita bahwa Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) hendak
membuat gebrakan revolusioner menyangkut syarat calon Rektor Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW). Salah satunya, kriteria usia calon. Selama ini calon
Rektor UKSW selalu dipatok paling tinggi berusia 60 tahun saat pelantikan pada tanggal 30 November di
tahun pergantian.
Kriteria
tersebut ditiadakan. Asalkan semua kriteria lain dipenuhi, maka usia calon tidak
disyaratkan. Berapa saja dimungkinkan. Ketentuan ini tentu menarik. Sebab baru
terjadi dalam sejarah[1].
Bukan cuma di UKSW, tapi (setahu saya) juga di seluruh PTN-PTS di Indonesia.
The Special One
Sekalipun belum tahu apa
persisnya di belakang keputusan itu, toh bisa direka-reka dengan menggunakan
logika. Pertama, keputusan tersebut
pastilah dimotivasi oleh keinginan besar untuk mendapatkan calon Rektor UKSW
yang terbaik. Di banyak aspek ia mesti unggul dibandingkan dengan yang lain. Entah
aspek akademiknya, kepemimpinannya, kepribadiannya, cita-citanya, cara-caranya
mengkomunikasikan ide-idenya, dsb.
Illustrasi, Sumber:http://christiandwiwijaya.blogspot.com/2012/08/pesawat-unik-buatan-manusia.html |
Dalam era persaingan PTN-PTS
yang makin ketat, Rektor unggul memang perlu. Tak seorang pun, di kampus mana
pun, termasuk UKSW, yang keberatan bila Rektornya adalah seorang yang brilian, unggul,
atau terbaik di antara para dosen terbaik. Yang bersangkutan haruslah the special one (meminjam istilah yang dipakai
untuk Jose
Mourinho ketika menjadi pelatih Chelsea).
Kedua, dengan pembatasan usia, peluang
mendapatkan calon special one bukan cuma
sempit. Yang berusia di atas 60 tahun otomatis tidak bisa dicalonkan atau mencalonkan
diri. Ini tak boleh terjadi. Sebab selain menghambat orang yang berkualifikasi,
UKSW juga kehilangan Rektor terbaik. Lebih-lebih bila dosen yang masuk dalam
kategori itu adalah (hanya ?) mereka yang berusia di atas 60 tahun. Nampaknya,
itulah alasan ditiadakannya batasan usia.
Bagi UKSW, calon rektor
terbaik, saya kira, tidak hanya bertujuan memenangkan persaingan PTN dan PTS
yang makin ketat. Lebih dari itu. Ada kaitannya dengan upaya pengembangan UKSW
50 tahun ke depan, sebagaimana sering digaungkan di kampus. Jika benar demikian,
ada kemungkinan bahwa penghapusan kriteria usia dapat difahami oleh sivitas
akademika UKSW. Tak terkecuali para alumni dan mantan-mantan Rektor.
Semua orang sadar bahwa kemampuan
futuristik tidak dimiliki oleh setiap dosen. Hanyalah pribadi khusus, special,
yang barangkali memang dianugerahkan khusus dari Sang Pentipta. Orang semacam
ini biasanya punya indera keenam sehingga mampu “membaca” tanda-tanda zaman.
Persoalannya, pribadi yang begituan tidak gampang diidentifikasi. Demikian pula sosok UKSW 50 tahun ke depan, tak mudah dideskripsikan. Ada banyak soal yang perlu diperjelas agar semua orang di kampus mengerti dan menerimanya sebagai perjuangan bersama.
Sosok UKSW dan Rektornya
Ada setidaknya dua hal yang diperjelas.
Pertama, apa dan bagaimana sosok
masa depan UKSW yang dimaksud. Apakah menciptakan sebuah sosok baru yang terukur
atau meninjau ulang idealisme UKSW yang diletakkan oleh Dr. O. Notohamidjojo, one of the founding fathers of UKSW? Ataukah
sekadar motto? Menurut saya, apa pun yang dikehendaki, haruslah dijelaskan.
Hal tersebut diperlukan karena
sosok UKSW dengan dasar-dasar dan idealisme yang diletakkan O Notohamidjojo, agaknya
masih relevan. Yang tampak mendesak adalah bagaimana mendaratkan, dan menjabarkan
idealisme itu menjadi penuntun cara berpikir pola laku, dan implementasinya
dalam kegiatan akademik.
Jabaran yang demikian perlu
terus dikaji, direnungkan, dan dievaluasi. Tanpa itu, saya kuatir bahwa
idealisme UKSW lebih banyak muncul dalam ceramah, tulisan, daripada apa yang
sesungguhnya dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di kampus.
Illustrasi, Sumber: http://1.bp.blogspot.com/ |
Kedua, apa dan bagaimana cara
mengetahui calon Rektor yang special one
itu? Instrumen apa yang tepat dipakai untuk mengidentifikasikannya? Apakah cukup
diukur dengan pidato? Atau dengan menilai paparan makalah yang disusunya
berdasarkan visi-misi UKSW, yang kemudian dipresentasikan di depan Senat dan
Pembina sebagai salah satu syarat pemilihan? Ataukah dikonstruksi dengan
memroyeksikan pengalamannya selama bekerja di UKSW?
Dengan pidato, maaf, saya ragu.
Sudah terlalu banyak yang pandai berpidato, berkata-kata besar, dan memang bermutu.
Tapi dalam kenyataannya banyak yang berhenti di ujung pidato. Ada juga yang mengharapkan
orang lain melakukan apa yang dikatakannya, namun ia sendiri tidak.
Di tingkat Nasional banyak
contoh. Presiden SBY misalnya. Sejak masa jabatan pertama, beliau selalu bilang
akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Bahkan beliau menjadi salah satu
tokoh iklan, “Katakan Tidak!” pada korupsi. Nyatanya? Masyarakat terus bertanya
wujud janjinya itu. Harapan saya, model yang begituan tidak terjadi di UKSW.
Oleh sebab itu, nampaknya
lebih tepat bila didasarkan pada rekam jejak dan pengalaman Sang Calon. Oleh
siapa? Mestinya, oleh Pembina. Pembina perlu mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya dari berbagai pihak. Jangan hanya dari satu-dua orang. Jangan
pula hanya dari orang yang bisa bersuara merdu. Dari siapa saja, termasuk yang
kesannya bernada sumbang, yang mungkin tak sedap di kuping. Sebab, yang bernada
merdu terkadang menipu. Sementara yang terkesan sumbang, justru benar, nyata,
fakta.
Tapi perlu segera dicatat. Mengumpulkan
data dan fakta tidak dengan meminta diceramahi. Haruslah dengan mengobservasi, mengamati
langsung dengan mata dan hati. Jika masih ragu, ya, lakukan klarifikasi. Dengan
cara itu, Pembina bisa memeroleh data yang lengkap dan objektif, yang
memungkinkan mereka mendapatkan calon yang Special
One itu.
Karena yang “dijaring” adalah
Rektor, pemimpin, maka sangat disarankan agar yang ditelusuri adalah pengalaman
sang Calon dalam memimpin. Pada kegiatan dan di level apa pun. Menurut saya,
penelusuran dapat dimulai dari dua aspek: bagaimana pengalamannya pemimpin
orang dan bagaimana ia memimpin ide.
Memimpin Orang
Memimpin orang berarti
memimpin hidup. Di UKSW, hidup seperti itu warna-warni, majemuk. Itulah
sebabnya ia dijuluki “Indonesia Mini”. Namun perlu disadari juga, bahwa dalam kemajemukan
ada hal yang sama. Semuanya memiliki sifat-sifat manusiawi yang sama persis.
Darah mereka sama merah. Sama punya harapan, cita-cita, harga diri, potensi, dst.
Sama-sama Sedih kalau dihina, disisihkan, dan sakit kalau dicubit. Demikian
pula sebaliknya.
Illustrasi. Sumber:http://dc435.com/2012/02/03/ |
Salah satu implementasinya
ialah sang pemimpin melihat dan memosisikan siapa pun dengan pertimbangan
kemajemukan sekaligus kesamaannya. Ini dilakukan atas dasar sebuah takaran,
ketentuan, yang memungkinkan semua orang terseleksi secara objektif dan adil.
Bukan berdasarkan warna yang ia sukai atau yang sewarna dengannya. Orang
Inggris bilang “The right man on the right place”.
Dalam mencapai tujuan lembaga,
ia tidak memperlakukan bawahannya sebagai alat. Tapi sebagai manusia seperti dirinya, yang
punya potensi dan bisa berkontribusi. Semuanya diakomodasi, difasilitasi, agar dalam
mewujudkan tujuan lembaga sekaligus menjadi wadah pengembangan diri mereka. Barangkali,
inilah yang disebut Pak O Notohamidjojo sebagai pemimpin yang agung. Yaitu pemimpin
yang dapat memerkaya kepribadian yang dipimpinya.[2]
Untuk mewujudkan hal itu,
komunikasi sebagai implementasi dari model kepemimpinan anutan haruslah
mendukung. Bila anutannya demokrasi, sudah pasti komunikasinya tidak searah,
tapi dua, bahkan multi arah. Juga bukan hanya
menuntut keterbukaan. Malahan mengharuskan adanya pelibatan semua orang
dalam proses dan pengambilan keputusan terhadap apa yang dianggap tepat bagi
lembaga.
Pada Program studi, Fakultas,
atau Universitas misalnya, pengambilan keputusan haruslah melalui sebuah
mekanisme yang disepakati bersama di level itu. Bukan hanya oleh pimpinannya
saja seperti sering kita lihat di banyak tempat.
Singkatnya, pemimpin yang
begituan jijik memakai terminologi “aku” dan “kamu” atau “kami” dan mereka”.
Yang ada benaknya hanya satu: KITA!
Memimpin ide
Bagaimana memimpin ide? Ini jelas
tidak gampang. Hanya mungkin dilakukan oleh pribadi matang. Bukan usia,
pendidikan, tingginya posisi, jabatan, atau kuasa. Sebab banyak yang, termasuk
dosen, tua menurut kalender, berpendidikan tinggi, bahkan tinggi sekali, tapi
kelakuannya seperti pribadi akil balik, puber, yang suka “genit”. Emosinya labil,
mudah tersinggung, dan gemar marah.
Illustrasi, http://pilkada.kompas.com/ |
Deskripsi Yakobus, saya kira
tepat. Pemimpin ide adalah “orang yang cepat untuk mendengar, tetapi lambat
untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19). Pemimpin yang begini
pasti respek pada setiap ide. Ia tak peduli sumbernya dari mana atau
disampaikan dalam format apa. Ide tukang sapu, tukang parkir, pengantar minum
di mejanya, mahasiswa, sama dihargainya dengan ide seorang Profesor, seorang
ketua DPR, presiden. Sama dianggapnya bisa benar dan bisa salah. Bisa tepat dan
juga bisa ngawur.
Bila ada yang mengeritik
idenya, tidak serta merta diidentifikasi sebagai upaya menjegalnya atau
memusuhinya, sehingga ia bermuram durja. Sebaliknya, bila ada yang mendukung, tidak
serta merta diamini, lalu bersuka cita, dan berpesta pora. Semuanya ia simak
baik-baik dengan hati bening tanpa melihat muka siapa yang punya ide. Sikap
skeptis ala ilmuwan adalah ciri sikapnya dalam mengelola ide.
Pertanyaannya, adakah orang seperti
itu di UKSW? Banyak! Walaupun tidak sempurna. Apakah hanya mereka yang berusia
≥ 60 tahun? Tidak! Saya sangat yakin, kalau semua mau jujur, banyak yang
berusia ≤ 60 tahun memiliki kemampuan itu.
Semua Terbaik
Kalau demikian, siapa gerangan
yang hendak “dijaring”? Terus terang, saya tidak tahu. Untuk itu, mungkin lebih
tepat bila fakta di UKSW berikut dicermati. Sampai saat ini ada 15 orang dosen ber-JAFA
Profesor dan berpendidikan Doktor, serta ± 30 orang dosen ber-JAFA Lektor Kepala
yang juga berpendidikan Doktor.
Dari 15 orang Profesor, yang
berusia ≥ 60 tahun saat pelantikan Rektor periode 2013-2017 ada 7 (tujuh) orang,
yaitu: Prof. Dr.Sutriyono,
M.Sc., (60), Prof. Dr. Slameto, M.Pd (60), Prof. Dr. I Gusti Gede Arya Astika,
MA (62), Pdt. Prof. Drs. John A. Titaley, Th.D (63), Prof. Drs. JT. Lobby
Lukmono, Ph.D (63), Prof. Liek Wilardjo, B.Sc., LCE., M.Sc., Ph.D (74), Prof.
Haryono Semangun (83).
Pertanyaannya, siapakah
yang terbaik? Saya kira semua. Tentu di bidangnya masing-masing. Buktinya, semuanya
telah menyelesaikan pendidikan doktoral dan meraih Jafa tertinggi: Profesor! Hanya
saja, di antaranya ada yang telah diakui dunia internasional karena penelitian
dan tulisannya dalam bentuk buku atau artikel pada jurnal-jurnal berkelas dunia.
Sementara yang lain masih dalam proses.
Meskipun demikian,
ada yang mustahil menjadi Rektor karena kriteria khas lembaga. Ada juga yang
memang tak pernah mau atau bercita-cita menjadi Rektor. Dalam pembicaraan
sehari-hari pun tidak.
Illustrasi. Sumber:http://intai-buku.blogspot.com/ |
Saya sendiri belum
percaya bahwa ada di antaranya yang berambisi menjadi Rektor. Sebagai akademisi,
sebagian (besar?) tidak mau merepotkan diri untuk jabatan Rektor karena berbagai
alasan. Lagi pula, ilmuwan sejati sering lebih suka menekuni ilmu daripada jabatan.
Kalau begitu,
siapa yang mampu mengkonstruksi sosok UKSW 50 tahun ke depan sekaligus mau mencalonkan
diri[3] menjadi Rektor seperti
dikehendaki? Kriteria apa yang dipakai untuk menentukan pribadi the special one itu? Aspek akademikkah
atau aspek kepemimpinannya?
John A. Titaley Memberi Sinyal
Atas gebrakan
Pembina, banyak yang menduga bahwa Rektor yang sekarang, Pdt. Prof. Drs. John
A. Titaley, Th.D berambisi menjadi Rektor. Mereka mengira bahwa Pembina sengaja
meloloskan beliau menjadi Rektor periode 2013-2017.
Menurut saya
dugaan tersebut tidak berdasar. Sebab, di berbagai kesempatan berbicara beliau sering
memberi sinyal bahwa ia tidak berniat menjadi rektor pada periode 2013-2017.
Konon kabarnya,
sinyal tersebut dikemukakan pertama kali pada rapat Pembina ketika membahas
pembelian tanah rencana lokasi kampus baru di Blotongan. Isi pernyataan itu
kira-kira begini, “Yang penting, kita membeli tanahnya dulu. Mumpung ada
kesempatan mendapatkan tanah murah seluas itu dalam satu lokasi. Mau diapakan
tanah itu kelak, terserah Rektor berikutnya.”
Sinyal yang sama,
kabarnya, implisit diungkapkan ketika Pembina memintanya membuat Master Plan pembangunan
Kampus baru di Blotongan. Dalam salah satu rapat Pembina, kabarnya beliau berkata
kira-kira begini, “Saya hanya memikirkan pembangunan Gedung FTI. Jumlah
mahasiswanya yang besar memerlukan lokasi baru. Pembangunan berikutnya, bukan
urusan saya. Itu urusan Rektor berikutnya.”
Jika hal di atas
benar dikatakan beliau, maka sebagai pribadi lugas dan selalu memegang teguh
kata-katanya, saya yakin beliau berkata apa adanya. Apa yang dikemukakan di
depan Pembina adalah apa yang ada dalam lubuk hatinya yang terdalam.
Kalau begitu,
apakah ada alasan mencuigai keputusan Pembina? Lagi pula kalau beliau ternyata memang
yang terbaik, mengapa harus ada yang keberatan? Bukankah hal itu baik bagi lembaga
dan semua orang di UKSW juga?
Revolusioner
Dengan
tersamarnya sasaran gebrakan Pembina, banyak yang bertanya, setidaknya saya
dalam kapasitas sebagai alumni dan mahasiswa MIH UKSW, mengapa batasan usia
calon ditiadakan? Mengapa bukan sebaliknya, diperketat? Barangkali akan lebih
bertaji bila usia calon dibuat paling tinggi 55 tahun bagi Profesor dan 50
tahun bagi Lektor Kepala. Kalau mau moderat bisa juga disamakan 55 tahun saja,
baik Profesor maupun Lektor Kepala.
Saya kira, hal
itu lebih revolusioner. Pada saat PTN dan PTS lain berkutat pada usia 60 tahun,
YPTKSW membuat lompatan inovatif. Yang beginian, bukan tidak mungkin dijadikan
acuan oleh Dirjen Dikti atau Yayasan lain. Juga bisa memotivasi para dosen (muda) untuk mengembankan diri
lebih awal bila ingin menjadi Rektor. Baik akademis maupun aspek kepemimpinan. Jika hal itu terjadi,
Rektor UKSW kelak dapat lebih muda, lebih gesit, lebih gaul.
Illustrasi |
Lektor Kepala juga
begitu. Ada Drs. Agna Sulis Krave, M.Sc., Ph.D (52), Dr. Dra. Vicentia Irene
Meitiniarti, MP (51), Dr. David Samiyono, MTS., MSLS (51), Dr. Ir. Wiranto
Herry Utomo, M.Kom (51), Pdt. Dr. Retnowati, M.Si (49), Dr. Hanna Arini
Parhusip, M.Sc (45), Dr. Christiana Maya Indah Susilowati (41), Nugrahenny
Tourisia Zacharias, S.Pd., MA. ELT., Ph.D (38), Dr. Jony Oktavian Haryanto,
SE., MM (35), dan masih banyak lagi.
Kalau batasan
usia 60 tahun masih dipertahankan pun, jumlahnya makin banyak. Ada Daniel HF
Manongga (57 atau, Sutarto Wijono (58). Yang ber-Jafa Lektor Kepala dan berusia
di bawah 60 tahun pun cukup banyak.
Kalau begitu,
manfaat apa yang diharapkan dari peniadaan batasan usia calon Rektor? Adakah nilai
spektakuler yang dihasilkannya bagi lembaga? Jika ya, maka Pembina sebagai
pembuat peraturan, nampaknya perlu memberi penjelasan secara akademis. Biar
orang kampus tidak bingung dan dapat membantu memberi penjelasan bila ada yang
bertanya. Itu menurut saya. ***
[1] Pada Pasal 4
angka 1 huruf c, Permendikbud No. 33 Tahun 2012 memberi syarat paling tinggi
berusia 60 tahun untuk diangkat pada jabatan Rektor/Ketua/Direktur PTN; Pasal 4
angka 1 huruf c, Permendiknas No 24 Tahun 2010 juga memberikan batasan yang
sama. Ini diacu oleh banyak PTN dan PTS. Yang berbeda adalah UNDIP Semarang
yang mematok batasan usia 61 Tahun (Pasal 4 ayat (3) huruf b, Peraturan UNDIP
No 1 Tahun 2010), dan mungkin juga ada Universitas lain yang tidak mengacu pada
Permendikbud No 33 Tahun 2012. Batasan usia yang dianut UNDIP sama dengan ketentuan
pada pasal 4 ayat (2) huruf b, Permendiknas No 67 Tahun 2008 yang sudah tidak berlaku (lihat Pasal 11 Permendiknas
No 24 Tahun 2010 jo Pasal 17 Permendikbud No. 33 Tahun 2012.
[2] Istilah yang dipakai Pak
O. Notohamidjojo untuk yang dipimpin atau bawahan adalah penganut, Kreativitas
Yang Bertanggung Jawab, Bagian 1,1993, hal. 20.
[3] Dalam ketentuan yang baru,
seorang calon rektor UKSW harus aktif mendaftarkan diri menjadi bakal
calon (lihat Kompas.com, 14 Februari 2013). Pada ketentuan sebelumnya tidak demikian. Seseorang bisa menjadi calon
dan kemudian menjadi rektor bisa bersifat pasif. Ia maju menjadi calon rektor
karena diajukan oleh pihak lain dalam kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar