Sabtu, 20 April 2013

Upaya Pembina YPTKSW Mencari Rektor UKSW



Oleh Yosafati Gulö

Terbesit berita bahwa Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) hendak membuat gebrakan revolusioner menyangkut syarat calon Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Salah satunya, kriteria usia calon. Selama ini calon Rektor UKSW selalu dipatok paling tinggi berusia 60 tahun  saat pelantikan pada tanggal 30 November di tahun pergantian.

Kriteria tersebut ditiadakan. Asalkan semua kriteria lain dipenuhi, maka usia calon tidak disyaratkan. Berapa saja dimungkinkan. Ketentuan ini tentu menarik. Sebab baru terjadi dalam sejarah[1]. Bukan cuma di UKSW, tapi (setahu saya) juga di seluruh PTN-PTS di Indonesia.

The Special One


Sekalipun belum tahu apa persisnya di belakang keputusan itu, toh bisa direka-reka dengan menggunakan logika. Pertama, keputusan tersebut pastilah dimotivasi oleh keinginan besar untuk mendapatkan calon Rektor UKSW yang terbaik. Di banyak aspek ia mesti unggul dibandingkan dengan yang lain. Entah aspek akademiknya, kepemimpinannya, kepribadiannya, cita-citanya, cara-caranya mengkomunikasikan ide-idenya, dsb.


Illustrasi, Sumber:http://christiandwiwijaya.blogspot.com/2012/08/pesawat-unik-buatan-manusia.html

Dalam era persaingan PTN-PTS yang makin ketat, Rektor unggul memang perlu. Tak seorang pun, di kampus mana pun, termasuk UKSW, yang keberatan bila Rektornya adalah seorang yang brilian, unggul, atau terbaik di antara para dosen terbaik. Yang bersangkutan haruslah the special one (meminjam istilah yang dipakai untuk Jose Mourinho ketika menjadi pelatih Chelsea).

Kedua, dengan pembatasan usia, peluang mendapatkan calon special one bukan cuma sempit. Yang berusia di atas 60 tahun otomatis tidak bisa dicalonkan atau mencalonkan diri. Ini tak boleh terjadi. Sebab selain menghambat orang yang berkualifikasi, UKSW juga kehilangan Rektor terbaik. Lebih-lebih bila dosen yang masuk dalam kategori itu adalah (hanya ?) mereka yang berusia di atas 60 tahun. Nampaknya, itulah alasan ditiadakannya batasan usia.

Bagi UKSW, calon rektor terbaik, saya kira, tidak hanya bertujuan memenangkan persaingan PTN dan PTS yang makin ketat. Lebih dari itu. Ada kaitannya dengan upaya pengembangan UKSW 50 tahun ke depan, sebagaimana sering digaungkan di kampus. Jika benar demikian, ada kemungkinan bahwa penghapusan kriteria usia dapat difahami oleh sivitas akademika UKSW. Tak terkecuali para alumni dan mantan-mantan Rektor.

Semua orang sadar bahwa kemampuan futuristik tidak dimiliki oleh setiap dosen. Hanyalah pribadi khusus, special, yang barangkali memang dianugerahkan khusus dari Sang Pentipta. Orang semacam ini biasanya punya indera keenam sehingga mampu “membaca” tanda-tanda zaman.

Persoalannya, pribadi yang begituan tidak gampang diidentifikasi. Demikian pula sosok UKSW 50 tahun ke depan, tak mudah dideskripsikan. Ada banyak soal yang perlu diperjelas agar semua orang di kampus mengerti dan menerimanya sebagai perjuangan bersama.

Sosok UKSW dan Rektornya

Ada setidaknya dua hal yang diperjelas. Pertama, apa dan bagaimana sosok masa depan UKSW yang dimaksud. Apakah menciptakan sebuah sosok baru yang terukur atau meninjau ulang idealisme UKSW yang diletakkan oleh Dr. O. Notohamidjojo, one of the founding fathers of UKSW? Ataukah sekadar motto? Menurut saya, apa pun yang dikehendaki, haruslah dijelaskan.

Hal tersebut diperlukan karena sosok UKSW dengan dasar-dasar dan idealisme yang diletakkan O Notohamidjojo, agaknya masih relevan. Yang tampak mendesak adalah bagaimana mendaratkan, dan menjabarkan idealisme itu menjadi penuntun cara berpikir pola laku, dan implementasinya dalam kegiatan akademik.

Jabaran yang demikian perlu terus dikaji, direnungkan, dan dievaluasi. Tanpa itu, saya kuatir bahwa idealisme UKSW lebih banyak muncul dalam ceramah, tulisan, daripada apa yang sesungguhnya dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di kampus.

http://1.bp.blogspot.com/-hFTxxPGb1X4/TsK0hMGThjI/AAAAAAAAAAs/uqf0BKLAkr8/s1600/images.jpg
Illustrasi, Sumber: http://1.bp.blogspot.com/
Kedua, apa dan bagaimana cara mengetahui calon Rektor yang special one itu? Instrumen apa yang tepat dipakai untuk mengidentifikasikannya? Apakah cukup diukur dengan pidato? Atau dengan menilai paparan makalah yang disusunya berdasarkan visi-misi UKSW, yang kemudian dipresentasikan di depan Senat dan Pembina sebagai salah satu syarat pemilihan? Ataukah dikonstruksi dengan memroyeksikan pengalamannya selama bekerja di UKSW?

Dengan pidato, maaf, saya ragu. Sudah terlalu banyak yang pandai berpidato, berkata-kata besar, dan memang bermutu. Tapi dalam kenyataannya banyak yang berhenti di ujung pidato. Ada juga yang mengharapkan orang lain melakukan apa yang dikatakannya, namun ia sendiri tidak.

Di tingkat Nasional banyak contoh. Presiden SBY misalnya. Sejak masa jabatan pertama, beliau selalu bilang akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Bahkan beliau menjadi salah satu tokoh iklan, “Katakan Tidak!” pada korupsi. Nyatanya? Masyarakat terus bertanya wujud janjinya itu. Harapan saya, model yang begituan tidak terjadi di UKSW.

Oleh sebab itu, nampaknya lebih tepat bila didasarkan pada rekam jejak dan pengalaman Sang Calon. Oleh siapa? Mestinya, oleh Pembina. Pembina perlu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari berbagai pihak. Jangan hanya dari satu-dua orang. Jangan pula hanya dari orang yang bisa bersuara merdu. Dari siapa saja, termasuk yang kesannya bernada sumbang, yang mungkin tak sedap di kuping. Sebab, yang bernada merdu terkadang menipu. Sementara yang terkesan sumbang, justru benar, nyata, fakta.

Tapi perlu segera dicatat. Mengumpulkan data dan fakta tidak dengan meminta diceramahi. Haruslah dengan mengobservasi, mengamati langsung dengan mata dan hati. Jika masih ragu, ya, lakukan klarifikasi. Dengan cara itu, Pembina bisa memeroleh data yang lengkap dan objektif, yang memungkinkan mereka mendapatkan calon yang Special One itu.

Karena yang “dijaring” adalah Rektor, pemimpin, maka sangat disarankan agar yang ditelusuri adalah pengalaman sang Calon dalam memimpin. Pada kegiatan dan di level apa pun. Menurut saya, penelusuran dapat dimulai dari dua aspek: bagaimana pengalamannya pemimpin orang dan bagaimana ia memimpin ide.

Memimpin Orang
Memimpin orang berarti memimpin hidup. Di UKSW, hidup seperti itu warna-warni, majemuk. Itulah sebabnya ia dijuluki “Indonesia Mini”. Namun perlu disadari juga, bahwa dalam kemajemukan ada hal yang sama. Semuanya memiliki sifat-sifat manusiawi yang sama persis. Darah mereka sama merah. Sama punya harapan, cita-cita, harga diri, potensi, dst. Sama-sama Sedih kalau dihina, disisihkan, dan sakit kalau dicubit. Demikian pula sebaliknya.

Illustrasi. Sumber:http://dc435.com/2012/02/03/
Salah satu implementasinya ialah sang pemimpin melihat dan memosisikan siapa pun dengan pertimbangan kemajemukan sekaligus kesamaannya. Ini dilakukan atas dasar sebuah takaran, ketentuan, yang memungkinkan semua orang terseleksi secara objektif dan adil. Bukan berdasarkan warna yang ia sukai atau yang sewarna dengannya. Orang Inggris bilang  The right man on the right place”.

Dalam mencapai tujuan lembaga, ia tidak memperlakukan bawahannya sebagai alat. Tapi sebagai manusia seperti dirinya, yang punya potensi dan bisa berkontribusi. Semuanya diakomodasi, difasilitasi, agar dalam mewujudkan tujuan lembaga sekaligus menjadi wadah pengembangan diri mereka. Barangkali, inilah yang disebut Pak O Notohamidjojo sebagai pemimpin yang agung. Yaitu pemimpin yang dapat memerkaya kepribadian yang dipimpinya.[2]

Untuk mewujudkan hal itu, komunikasi sebagai implementasi dari model kepemimpinan anutan haruslah mendukung. Bila anutannya demokrasi, sudah pasti komunikasinya tidak searah, tapi dua, bahkan multi arah. Juga bukan hanya  menuntut keterbukaan. Malahan mengharuskan adanya pelibatan semua orang dalam proses dan pengambilan keputusan terhadap apa yang dianggap tepat bagi lembaga.

Pada Program studi, Fakultas, atau Universitas misalnya, pengambilan keputusan haruslah melalui sebuah mekanisme yang disepakati bersama di level itu. Bukan hanya oleh pimpinannya saja seperti sering kita lihat di banyak tempat.

Singkatnya, pemimpin yang begituan jijik memakai terminologi “aku” dan “kamu” atau “kami” dan mereka”. Yang ada benaknya hanya satu: KITA!

Memimpin ide

Bagaimana memimpin ide? Ini jelas tidak gampang. Hanya mungkin dilakukan oleh pribadi matang. Bukan usia, pendidikan, tingginya posisi, jabatan, atau kuasa. Sebab banyak yang, termasuk dosen, tua menurut kalender, berpendidikan tinggi, bahkan tinggi sekali, tapi kelakuannya seperti pribadi akil balik, puber, yang suka “genit”. Emosinya labil, mudah tersinggung, dan gemar marah. 

Illustrasi, http://pilkada.kompas.com/
Deskripsi Yakobus, saya kira tepat. Pemimpin ide adalah “orang yang cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19). Pemimpin yang begini pasti respek pada setiap ide. Ia tak peduli sumbernya dari mana atau disampaikan dalam format apa. Ide tukang sapu, tukang parkir, pengantar minum di mejanya, mahasiswa, sama dihargainya dengan ide seorang Profesor, seorang ketua DPR, presiden. Sama dianggapnya bisa benar dan bisa salah. Bisa tepat dan juga bisa ngawur.

Bila ada yang mengeritik idenya, tidak serta merta diidentifikasi sebagai upaya menjegalnya atau memusuhinya, sehingga ia bermuram durja. Sebaliknya, bila ada yang mendukung, tidak serta merta diamini, lalu bersuka cita, dan berpesta pora. Semuanya ia simak baik-baik dengan hati bening tanpa melihat muka siapa yang punya ide. Sikap skeptis ala ilmuwan adalah ciri sikapnya dalam mengelola ide.

Pertanyaannya, adakah orang seperti itu di UKSW? Banyak! Walaupun tidak sempurna. Apakah hanya mereka yang berusia ≥ 60 tahun? Tidak! Saya sangat yakin, kalau semua mau jujur, banyak yang berusia ≤ 60 tahun memiliki kemampuan itu.

Semua Terbaik

Kalau demikian, siapa gerangan yang hendak “dijaring”? Terus terang, saya tidak tahu. Untuk itu, mungkin lebih tepat bila fakta di UKSW berikut dicermati. Sampai saat ini ada 15 orang dosen ber-JAFA Profesor dan berpendidikan Doktor, serta ± 30 orang dosen ber-JAFA Lektor Kepala yang juga berpendidikan Doktor.

Dari 15 orang Profesor, yang berusia ≥ 60 tahun saat pelantikan Rektor periode 2013-2017 ada 7 (tujuh) orang, yaitu: Prof. Dr.Sutriyono, M.Sc., (60), Prof. Dr. Slameto, M.Pd (60), Prof. Dr. I Gusti Gede Arya Astika, MA (62), Pdt. Prof. Drs. John A. Titaley, Th.D (63), Prof. Drs. JT. Lobby Lukmono, Ph.D (63), Prof. Liek Wilardjo, B.Sc., LCE., M.Sc., Ph.D (74), Prof. Haryono Semangun (83).

Pertanyaannya, siapakah yang terbaik? Saya kira semua. Tentu di bidangnya masing-masing. Buktinya, semuanya telah menyelesaikan pendidikan doktoral dan meraih Jafa tertinggi: Profesor! Hanya saja, di antaranya ada yang telah diakui dunia internasional karena penelitian dan tulisannya dalam bentuk buku atau artikel pada jurnal-jurnal berkelas dunia. Sementara yang lain masih dalam proses.

Meskipun demikian, ada yang mustahil menjadi Rektor karena kriteria khas lembaga. Ada juga yang memang tak pernah mau atau bercita-cita menjadi Rektor. Dalam pembicaraan sehari-hari pun tidak.

INTAI BUKU
Illustrasi. Sumber:http://intai-buku.blogspot.com/                         
Saya sendiri belum percaya bahwa ada di antaranya yang berambisi menjadi Rektor. Sebagai akademisi, sebagian (besar?) tidak mau merepotkan diri untuk jabatan Rektor karena berbagai alasan. Lagi pula, ilmuwan sejati sering lebih suka menekuni ilmu daripada jabatan.

Kalau begitu, siapa yang mampu mengkonstruksi sosok UKSW 50 tahun ke depan sekaligus mau mencalonkan diri[3] menjadi Rektor seperti dikehendaki? Kriteria apa yang dipakai untuk menentukan pribadi the special one itu? Aspek akademikkah atau aspek kepemimpinannya?

John A. Titaley Memberi Sinyal

Atas gebrakan Pembina, banyak yang menduga bahwa Rektor yang sekarang, Pdt. Prof. Drs. John A. Titaley, Th.D berambisi menjadi Rektor. Mereka mengira bahwa Pembina sengaja meloloskan beliau menjadi Rektor periode 2013-2017.

Menurut saya dugaan tersebut tidak berdasar. Sebab, di berbagai kesempatan berbicara beliau sering memberi sinyal bahwa ia tidak berniat menjadi rektor pada periode 2013-2017.

Konon kabarnya, sinyal tersebut dikemukakan pertama kali pada rapat Pembina ketika membahas pembelian tanah rencana lokasi kampus baru di Blotongan. Isi pernyataan itu kira-kira begini, “Yang penting, kita membeli tanahnya dulu. Mumpung ada kesempatan mendapatkan tanah murah seluas itu dalam satu lokasi. Mau diapakan tanah itu kelak, terserah Rektor berikutnya.”

Sinyal yang sama, kabarnya, implisit diungkapkan ketika Pembina memintanya membuat Master Plan pembangunan Kampus baru di Blotongan. Dalam salah satu rapat Pembina, kabarnya beliau berkata kira-kira begini, “Saya hanya memikirkan pembangunan Gedung FTI. Jumlah mahasiswanya yang besar memerlukan lokasi baru. Pembangunan berikutnya, bukan urusan saya. Itu urusan Rektor berikutnya.”

Jika hal di atas benar dikatakan beliau, maka sebagai pribadi lugas dan selalu memegang teguh kata-katanya, saya yakin beliau berkata apa adanya. Apa yang dikemukakan di depan Pembina adalah apa yang ada dalam lubuk hatinya yang terdalam.

Kalau begitu, apakah ada alasan mencuigai keputusan Pembina? Lagi pula kalau beliau ternyata memang yang terbaik, mengapa harus ada yang keberatan? Bukankah hal itu baik bagi lembaga dan semua orang di UKSW juga?

Revolusioner

Dengan tersamarnya sasaran gebrakan Pembina, banyak yang bertanya, setidaknya saya dalam kapasitas sebagai alumni dan mahasiswa MIH UKSW, mengapa batasan usia calon ditiadakan? Mengapa bukan sebaliknya, diperketat? Barangkali akan lebih bertaji bila usia calon dibuat paling tinggi 55 tahun bagi Profesor dan 50 tahun bagi Lektor Kepala. Kalau mau moderat bisa juga disamakan 55 tahun saja, baik Profesor maupun Lektor Kepala. 

Saya kira, hal itu lebih revolusioner. Pada saat PTN dan PTS lain berkutat pada usia 60 tahun, YPTKSW membuat lompatan inovatif. Yang beginian, bukan tidak mungkin dijadikan acuan oleh Dirjen Dikti atau Yayasan lain. Juga bisa memotivasi  para dosen (muda) untuk mengembankan diri lebih awal bila ingin menjadi Rektor. Baik akademis  maupun aspek kepemimpinan. Jika hal itu terjadi, Rektor UKSW kelak dapat lebih muda, lebih gesit, lebih gaul.

Illustrasi
Para dosen di kategori itu cukup banyak. Di antaranya, Prof. Dr. Ferdy S. Rondonuwu, M.Sc. (44), Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, MM (47), Prof. Supramono, SE., MBA., DBA (50), Prof. Dr. Eko Sediyono, M.Kom (52), Prof. Teguh Prasetyo, SH., M.Si (52),  Prof. Christantius Dwiatmadja, SE., ME., Ph.D (54).
Lektor Kepala juga begitu. Ada Drs. Agna Sulis Krave, M.Sc., Ph.D (52), Dr. Dra. Vicentia Irene Meitiniarti, MP (51), Dr. David Samiyono, MTS., MSLS (51), Dr. Ir. Wiranto Herry Utomo, M.Kom (51), Pdt. Dr. Retnowati, M.Si (49), Dr. Hanna Arini Parhusip, M.Sc (45), Dr. Christiana Maya Indah Susilowati (41), Nugrahenny Tourisia Zacharias, S.Pd., MA. ELT., Ph.D (38), Dr. Jony Oktavian Haryanto, SE., MM (35), dan masih banyak lagi.

Kalau batasan usia 60 tahun masih dipertahankan pun, jumlahnya makin banyak. Ada Daniel HF Manongga (57 atau, Sutarto Wijono (58). Yang ber-Jafa Lektor Kepala dan berusia di bawah 60 tahun pun cukup banyak.

Kalau begitu, manfaat apa yang diharapkan dari peniadaan batasan usia calon Rektor? Adakah nilai spektakuler yang dihasilkannya bagi lembaga? Jika ya, maka Pembina sebagai pembuat peraturan, nampaknya perlu memberi penjelasan secara akademis. Biar orang kampus tidak bingung dan dapat membantu memberi penjelasan bila ada yang bertanya. Itu menurut saya. ***


[1] Pada Pasal 4 angka 1 huruf c, Permendikbud No. 33 Tahun 2012 memberi syarat paling tinggi berusia 60 tahun untuk diangkat pada jabatan Rektor/Ketua/Direktur PTN; Pasal 4 angka 1 huruf c, Permendiknas No 24 Tahun 2010 juga memberikan batasan yang sama. Ini diacu oleh banyak PTN dan PTS. Yang berbeda adalah UNDIP Semarang yang mematok batasan usia 61 Tahun (Pasal 4 ayat (3) huruf b, Peraturan UNDIP No 1 Tahun 2010), dan mungkin juga ada Universitas lain yang tidak mengacu pada Permendikbud No 33 Tahun 2012. Batasan usia yang dianut UNDIP sama dengan ketentuan pada pasal 4 ayat (2) huruf b, Permendiknas No 67 Tahun 2008  yang sudah tidak berlaku (lihat Pasal 11 Permendiknas No 24 Tahun 2010 jo Pasal 17 Permendikbud No. 33 Tahun 2012.
[2] Istilah yang dipakai Pak O. Notohamidjojo untuk yang dipimpin atau bawahan adalah penganut, Kreativitas Yang Bertanggung Jawab, Bagian 1,1993, hal. 20.
[3] Dalam ketentuan yang baru, seorang calon rektor UKSW harus aktif mendaftarkan diri menjadi bakal calon (lihat Kompas.com, 14 Februari 2013). Pada ketentuan sebelumnya tidak demikian. Seseorang bisa menjadi calon dan kemudian menjadi rektor bisa bersifat pasif. Ia maju menjadi calon rektor karena diajukan oleh pihak lain dalam kampus.

Tidak ada komentar: