Protes
Frans Magnis Suseno (FMS), terhadap rencana pemberian World Statesman Award oleh Appeal
Of Conscience Foundation (ACF) kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pasti bukan karena iri atau tidak
senang kalau Presidennya dihargai oleh Negara lain. Juga bukan bermaksud menghembuskan
SARA seperti dituduhkan Dipo Alam (DA), Sekretaris Kabinet RI, di twitternya. “Umaro, ulama
dan umat Islam di Indonesia secara umum sudah baik, mari liat kedepan, tidak
baik pimpinannya dicerca oleh yang non-muslim FMS,” kicaunya tanggal 21 Mei
2013.
Sebagai
akademisi, filsuf, dan agamawan, FMS sudah terbiasa hidup dengan standar moral
normal. Terbiasa berpikir rasional yang dilandasi etika. Beliau protes karena
pemberian award itu dinilai tidak benar. Tidak wajar. Luar negeri yang tak tahu banyak kondisi
dalam negeri memberi award for tolerance di saat tindakan-tindakan
intoleransi makin tak terkendalikan oleh Negara.
Apa
yang dikatakan FMS jelas sulit dibantah (tentu
kalau kita mau jujur dalam mengungkap realitas). Mengapa begitu? Karena penghargaan
tersebut tidak mengandung kehorensi dan korespondensi dengan realitas.
Illustrasi, Sumber : http://www.as-shufi.com/ |
Tidak
koheren karena World Statesman
Award pada hakekatnya hanya diberikan kepada negarawan yang berjasa
dalam menegakkan toleransi. Menegakkan toleransi di sini tidak sekedar
berwacana, tapi berwacana yang konsisten dengan aksi. Apa yang diwacanakan, dilaksanakan.
Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sepanjang 8,1/2 (delapan setengah)
tahun sebagai Presiden RI belum memperlihatkan konsistensi itu. Yang ditampilkan
beliau lebih banyak wacana.
Jago Berwacana
Pada
tataran wacana, SBY tak perlu diragukan. Beliaulah jagonya. Beliau sering, bahkan
terlalu sering, menghimbau agar kekerasan atas nama agama dihentikan. Himbauan
kepada Pejabat agar patuh pada hukum juga begitu. Tapi ketika Walikota Bogor
ogah menaati Putusan MA atas kasus GKI Yasmin Bogor, SBY diam.
Wacana
memberantas korupsi malah lebih atraktif. Selain menyatakan akan memimpin
sendiri pemberantasan korupsi, bersama Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, M.
Nazaruddin, Anas Urbaningrum, beliau malah turut menjadi aktor iklan “Katakan
Tidak Kepada Korupsi!”
Nyatanya?
M. Nazaruddin dan Angelina Sondah sudah masuk bui. Andi dan Anas sudah
ditetapkan jadi tersangka korupsi. Belakangan, nama-nama petinggi Partai
Demokrat yang terjerat kasus Korupsi terus bertambah. Parahnya, sebagian dana
hasil korupsi itu mengalir ke Partai Demokrat ujar M. Nazaruddin berkali-kali
di persidangan (Oce Madril SH MA, KR online 25-02-2013)
Himbauan
kepada para Menteri agar bekerja serius, juga sering dilontarkan. Tapi setelah
itu, tidak ada follow up. Beliau mengira kalau sudah dihimbau maka semuanya
jalan. Nyatanya? Tidak. Korupsi di kalangan pejabat teras Partai Demokrat malah
kian menjadi-jadi. Seolah-olah mereka mengolok-olok SBY.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, nampak bahwa World Statesman Award tidak berkorespondensi dengan kenyataan. “...whom did you ask for information before making you award choice? What could be your motivation to bestow upon this President a reward for religious tolerance who so obviously lacks any courage to do his duty protecting minorities?” tulis FMS kepada ACF.
Untuk membuktikan hal itu, Hendardi, Direktur Setara Institut,
menyodorkan banyak bukti peristiwa dan tindak pelanggaran atas nama agama
antara 2007-2012. Tahun 2007, ada 185 peristiwa dan 135 tindak pelanggaran
beragama. Tahun 2008 melonjak menjadi 367 dan 265 kasus. Jumlah kasus itu berubah
di tahun 2009 menjadi 291 dan 200. Tahun 2010 jumlah kasus kembali meningkat
menjadi 216 dan 286. Tahun 2011 menjadi 244 dan 299 kasus. Terakhir di tahun
2012 ini Setara menemukan ada 371 peristiwa dan 264 tindak pelanggaran
beragama/berkeyakinan (Satuharapan.com).
Dipo Alam dan
Istana
Bagi Dipo Alam (DA) dan Istana Kepresidenan RI,
kasus-kasus tersebut kecil. Pembunuhan yang dilakukan terhadap pengikut Ahmmadiyah
dan Syiah atas nama agama dinilai bukan masalah. Nyawa beberapa orang yang dihabisi
secara sadis dinilai kecil. Penutupan paksa Gereja dan pelarangan jemaat
Kristen di beberapa tempat untuk beribadah oleh sesama warga negara Indonesia,
bagi DA dan Istana Kepresidenan RI tidak ada apa-apanya. Indonesia luas dan
aman-aman saja, tulis DA di twitternya.
Sikap menyepelekan kenyataan itulah yang membuat Adnan
Buyung Nasution geram. Buyung menilai DA lancang. Sekalipun sama-sama teman
aktivis, tapi setelah berkuasa, DA berubah dan tidak punya karakter, kata Bang
Buyung. Saking geramnya, Buyung bahkan sempat
berkata akan menempeleng DA andaikan hadir pada jumpa pers yang dihadiri Buyung.
Sikap serupa ditunjukan oleh Syafii Maarif (Buya Maarif),
Todung Mulya Lubis dan beberapa toloh nasionalis lain. Mereka menilai sikap Istana
merespon protes FMS tak patut. Mereka juga menilai bahwa SBY tak layak menerima
penghargaan tersebut. Bagaimana mungkin seseorang yang membiarkan makin liarnya
intoleransi dalam masyarakat diberi pengharagaan yang sangat prestisius?
Tolok Ukur
Nampaknya
konflik pemikiran antara layak-tidaknya Presiden SBY menerima pengharagaan
terletak pada tolok ukur yang dipakai. Yang dipakai FMS, Buyung Nasution, Buya Maarif, Todung Mulya Lubis, Hendardi, adalah
nalar koherensi antara hakekat World Statesman
Award dan kualifikasi yang dicapai SBY. Bagi mereka hakekat World Statesman Award dan kualifikasi SBY selain belum konsisten,
juga belum berkorespondensi dengan realitas.
Di
pihak lain tolok ukur DA, Jubir Kepresidenan dan Istana Kepresidenan RI adalah apa
kata ACF saja. Sedangkan tolok ukur ACF adalah apa yang tidak dia tahu dalam
ketidaktahuannya tentang kondisi toleransi yang sangat rendah dan sebuah tujuan
terselubung yang tak jelas.
Itu
sebabnya ketika ACF menawarkan award, pihak Istana Presiden RI pun bersuka-ria. Bagi
mereka, kasus-kasus di atas adalah normal. Bahkan mungkin dianggap sebagai
sebuah toleransi yang benar sehingga patut dihargai. Kemungkinan besar mereka
baru menggolongkan situasi intoleran bila bunuh-bunuhan atas nama agama
mencapai ratusan atau ribuan orang dan pembakaran rumah-rumah ibadah terjadi
setiap hari.
Jika
itu tolok ukur DA, Jubir Kepresidenan RI, dan pihak Istana, maka pemberian
penghargaan oleh ACF kepada SBY memang layak. Layak karena tolok ukur ACF dan
pihak Istana bukan soal koherensi hakekat World Statesman
Award terhadap kualifikasi SBY, juga bukan
korespondensinya dengan realitas.
Persoalannya, apakah tolok ukur semacam itu yang cocok untuk melanggengkan sebuah negara beradab berdasarkan Pancasila, yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan berprerikemanusiaan yang adil dan beradab? Jika ya, maka tidak alasan bagi bangsa ini untuk tidak menyambut upacara pemberian award itu, yang rencananya dilaksanakan di New York tanggall 30 Mei 2013. Hanya saja, mohon maaf, saya tidak ikut-ikutan he he.
Jika perlu, Istana Kepresidenan segera membentuk Panitia penyambutan secara Nasional dengan menaikkan Bendera Merah Putih satu tiang penuh. Sebab dengan bersesuaiannya tolok ukur ACF dan pihak Istana Kepresidenan RI, maka SBY memang pantas menerima award itu. Levelnya, memang begitu . ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar