Sabtu, 25 Mei 2013

World Statesman Award Untuk Presiden SBY, Mengapa Tidak?


Protes Frans Magnis Suseno (FMS), terhadap rencana pemberian World Statesman Award oleh Appeal Of Conscience Foundation (ACF) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pasti bukan karena iri atau tidak senang kalau Presidennya dihargai oleh Negara lain. Juga bukan bermaksud menghembuskan SARA seperti dituduhkan Dipo Alam (DA), Sekretaris Kabinet RI, di twitternya. “Umaro, ulama dan umat Islam di Indonesia secara umum sudah baik, mari liat kedepan, tidak baik pimpinannya dicerca oleh yang non-muslim FMS,” kicaunya tanggal 21 Mei 2013.

Sebagai akademisi, filsuf, dan agamawan, FMS sudah terbiasa hidup dengan standar moral normal. Terbiasa berpikir rasional yang dilandasi etika. Beliau protes karena pemberian award itu dinilai tidak benar. Tidak wajar. Luar negeri yang tak tahu banyak kondisi dalam negeri memberi award for tolerance di saat tindakan-tindakan intoleransi makin tak terkendalikan oleh Negara.

Apa yang dikatakan FMS jelas sulit dibantah (tentu kalau kita mau jujur dalam mengungkap realitas). Mengapa begitu? Karena penghargaan tersebut tidak mengandung kehorensi dan korespondensi dengan realitas.


Illustrasi, Sumber : http://www.as-shufi.com/
Tidak koheren karena World Statesman Award pada hakekatnya hanya diberikan kepada negarawan yang berjasa dalam menegakkan toleransi. Menegakkan toleransi di sini tidak sekedar berwacana, tapi berwacana yang konsisten dengan aksi. Apa yang diwacanakan, dilaksanakan. Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sepanjang 8,1/2 (delapan setengah) tahun sebagai Presiden RI belum memperlihatkan konsistensi itu. Yang ditampilkan beliau lebih banyak wacana.

Jago Berwacana

Pada tataran wacana, SBY tak perlu diragukan. Beliaulah jagonya. Beliau sering, bahkan terlalu sering, menghimbau agar kekerasan atas nama agama dihentikan. Himbauan kepada Pejabat agar patuh pada hukum juga begitu. Tapi ketika Walikota Bogor ogah menaati Putusan MA atas kasus GKI Yasmin Bogor, SBY diam. 

Wacana memberantas korupsi malah lebih atraktif. Selain menyatakan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi, bersama Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, M. Nazaruddin, Anas Urbaningrum, beliau malah turut menjadi aktor iklan “Katakan Tidak Kepada Korupsi!” 

Nyatanya? M. Nazaruddin dan Angelina Sondah sudah masuk bui. Andi dan Anas sudah ditetapkan jadi tersangka korupsi. Belakangan, nama-nama petinggi Partai Demokrat yang terjerat kasus Korupsi terus bertambah. Parahnya, sebagian dana hasil korupsi itu mengalir ke Partai Demokrat ujar M. Nazaruddin berkali-kali di persidangan (Oce Madril SH MA, KR online 25-02-2013)

Himbauan kepada para Menteri agar bekerja serius, juga sering dilontarkan. Tapi setelah itu, tidak ada follow up. Beliau mengira kalau sudah dihimbau maka semuanya jalan. Nyatanya? Tidak. Korupsi di kalangan pejabat teras Partai Demokrat malah kian menjadi-jadi. Seolah-olah mereka mengolok-olok SBY. 

Berdasarkan fakta-fakta di atas, nampak bahwa World Statesman Award tidak berkorespondensi dengan kenyataan. “...whom did you ask for information before making you award choice? What could be your motivation to bestow upon this President a reward for religious tolerance who so obviously lacks any courage to do his duty protecting minorities?” tulis FMS kepada ACF.

Untuk membuktikan hal itu, Hendardi, Direktur Setara Institut, menyodorkan banyak bukti peristiwa dan tindak pelanggaran atas nama agama antara 2007-2012. Tahun 2007, ada 185 peristiwa dan 135 tindak pelanggaran beragama. Tahun 2008 melonjak menjadi 367 dan 265 kasus. Jumlah kasus itu berubah di tahun 2009 menjadi 291 dan 200. Tahun 2010 jumlah kasus kembali meningkat menjadi 216 dan 286. Tahun 2011 menjadi 244 dan 299 kasus. Terakhir di tahun 2012 ini Setara menemukan ada 371 peristiwa dan 264 tindak pelanggaran beragama/berkeyakinan (Satuharapan.com).

Dipo Alam dan Istana

Bagi Dipo Alam (DA) dan Istana Kepresidenan RI, kasus-kasus tersebut kecil. Pembunuhan yang dilakukan terhadap pengikut Ahmmadiyah dan Syiah atas nama agama dinilai bukan masalah. Nyawa beberapa orang yang dihabisi secara sadis dinilai kecil. Penutupan paksa Gereja dan pelarangan jemaat Kristen di beberapa tempat untuk beribadah oleh sesama warga negara Indonesia, bagi DA dan Istana Kepresidenan RI tidak ada apa-apanya. Indonesia luas dan aman-aman saja, tulis DA di twitternya.

Sikap menyepelekan kenyataan itulah yang membuat Adnan Buyung Nasution geram. Buyung menilai DA lancang. Sekalipun sama-sama teman aktivis, tapi setelah berkuasa, DA berubah dan tidak punya karakter, kata Bang Buyung.  Saking geramnya, Buyung bahkan sempat berkata akan menempeleng DA andaikan hadir pada jumpa pers yang dihadiri Buyung. 

Sikap serupa ditunjukan oleh Syafii Maarif (Buya Maarif), Todung Mulya Lubis dan beberapa toloh nasionalis lain. Mereka menilai sikap Istana merespon protes FMS tak patut. Mereka juga menilai bahwa SBY tak layak menerima penghargaan tersebut. Bagaimana mungkin seseorang yang membiarkan makin liarnya intoleransi dalam masyarakat diberi pengharagaan yang sangat prestisius? 

Tolok Ukur 

Nampaknya konflik pemikiran antara layak-tidaknya Presiden SBY menerima pengharagaan terletak pada tolok ukur yang dipakai. Yang dipakai FMS, Buyung Nasution,  Buya Maarif, Todung Mulya Lubis, Hendardi, adalah nalar koherensi antara hakekat World Statesman Award dan kualifikasi yang dicapai SBY. Bagi mereka hakekat World Statesman Award  dan kualifikasi SBY selain belum konsisten, juga belum berkorespondensi dengan realitas. 

Di pihak lain tolok ukur DA, Jubir Kepresidenan dan Istana Kepresidenan RI adalah apa kata ACF saja. Sedangkan tolok ukur ACF adalah apa yang tidak dia tahu dalam ketidaktahuannya tentang kondisi toleransi yang sangat rendah dan sebuah tujuan terselubung yang tak jelas. 

Itu sebabnya ketika ACF menawarkan award,  pihak Istana Presiden RI pun bersuka-ria. Bagi mereka, kasus-kasus di atas adalah normal. Bahkan mungkin dianggap sebagai sebuah toleransi yang benar sehingga patut dihargai. Kemungkinan besar mereka baru menggolongkan situasi intoleran bila bunuh-bunuhan atas nama agama mencapai ratusan atau ribuan orang dan pembakaran rumah-rumah ibadah terjadi setiap hari.

Jika itu tolok ukur DA, Jubir Kepresidenan RI, dan pihak Istana, maka pemberian penghargaan oleh ACF kepada SBY memang layak. Layak karena tolok ukur ACF dan pihak Istana bukan soal koherensi hakekat World Statesman Award terhadap kualifikasi SBY, juga bukan korespondensinya dengan realitas. 

Persoalannya, apakah tolok ukur semacam itu yang cocok untuk melanggengkan sebuah negara beradab berdasarkan Pancasila, yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan berprerikemanusiaan yang adil dan beradab? Jika ya, maka tidak alasan bagi bangsa ini untuk tidak menyambut upacara pemberian award itu, yang rencananya dilaksanakan di New York tanggall 30 Mei 2013. Hanya saja, mohon maaf, saya tidak ikut-ikutan he he.

Jika perlu, Istana Kepresidenan segera membentuk Panitia penyambutan secara Nasional dengan menaikkan Bendera Merah Putih satu tiang penuh. Sebab dengan bersesuaiannya tolok ukur ACF dan pihak Istana Kepresidenan RI, maka SBY memang pantas menerima award itu. Levelnya, memang begitu . ***

 

Tidak ada komentar: