Kalau Mendagri (Gamawan Fauzi) sedikit hati-hati, maka
berbagai pernyataannya yang sering ditanggapi keras oleh Wagub DKI, Ahok, mungkin
tak terjadi. Hal terakhir yang ditentang Ahok, juga digunjingkan publik adalah
himbauannya agar para Kepala Daerah bekerjasama dengan FPI dalam bidang agama.
Sebelum itu, ketegangan keduanya mencuat ketika
Ahok mengeritik proyek e-KTP. Berlanjut ketika Gamawan menganjurkan agar Lurah
Lenteng Agung (LA), Jaksel, Susan Jasmine Zulkifli diganti karena didemo FPI. Pasalnya,
Lurah terpilih hasil lelang Jabatan itu beragama Katolik, tidak beragama sama
dengan mayoritas di LA.
Gamawan Fauzi (inilah.com) |
Pada ketegangan terakhir, Gamawan dibela keras
oleh Kepala Subdit Ormas Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Bachtiar. Seraya membela
Gamawan, Bachtiar menyerang Ahok. Ia sangat keberatan karena Ahok sebagai
Wagub, berani menentang Mendagri. Dengan alasan itu, Bachtiar menyebut Ahok
tidak paham konstitusi, tak tahu etika, tidak tahu tatanan, dan tidak bisa
menempatkan diri sebagai Wagub, bawahan Mendagri. Ahok, katanya, lebih cocok
sebagai pimpinan ormas atau LSM (JPNN.com, 25/10/2013).
Pertanyaannya, mengapa Gamawan dan Bachtiar getol menyudutkan
Ahok dan bersikeras agar para Kepala Daerah bekerjasama dengan FPI dalam
membina kehidupan beragama? Apa dasar hukum dan logikanya mengajak FPI dalam
membangun kehidupan beragama?
Pesan
UU
Pasal 10 ayat (3) huruf f, UU
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tegas menyebutkan bahwa urusan
agama adalah urusan Pemerintah Pusat. Bukan Daerah!
Menurut penjelasan pasal itu, kewenangan
Pemerintah Pusat terhadap kehidupan beragama, adalah menetapkan hari libur
keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap
keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan
keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan Pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan
kepada Daerah.
Tentang hari libur
keagamaan, pemberian pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, dan kebijakan
dalam penyenggaraan kehidupan keagamaan bukan wilayah Pemda Provinsi dan
Kabupaten/Kota, apalagi FPI. Dari sisi ini tidak ada ruang bagi Kepala Daerah
atau FPI untuk membangun kerjasama.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah
sebagai upaya meningkatkan keikutsertaannya dalam menumbuh-kembangkan kehidupan
beragama (bold dari penulis).
Namun, pelaksanaan
pesan UU tersebut tidak bisa digebyah uyah. Sebab istilah “sebagian” tersebut mengandung
banyak makna. Tanpa Peraturan pendukung, entah dalam bentuk Kepres ataupun
Peraturan Menteri, peluang untuk ditafsirkan suka-suka dan diselewengkan, sangat
besar.
Kepala Daerah yang berpikiran sempit, bukan tidak
mungkin menggunakan kesempatan itu untuk hanya membantu pengembangan agama
anutannya. Atau memberi “angin” kepada kelompok garis keras untuk melakukan
tindakan-tindakan destruktif bagi penganut agama di luar agama anutannya.
Jika hal itu terjadi, maka peristiwa GKI Yasmin di
Bogor, HKBP Bekasi, pembabatan Ahmaddiyah hampir dapat dipastikan akan segera
menjalar di berbagai tempat. Disadari atau tidak, keadaan tersebut bukannya membangun.
Malahan akan merontokkan keutuhan bangsa kita dalam ber-NKRI. Inikah yang
dikehendaki Gamawan sebagai Mendagri RI?
Tidak
Punya Kapabilitas
Selain lemah dari aspek hukum, logika himbauan
Gamawan juga janggal. Normalnya, kerjasama yang benar selalu dibangun dengan
lembaga mapan yang sudah terbukti andal dalam membangun kehidupan. Bukan dengan
ormas seperti FPI yang kegiatannya cenderung
destruktif.
Hal ini dapat dilihat di berbagai lembaga pada
tingkat apa pun. Dalam dunia usaha, Pendidikan, Agama, Politik, antar Pemda bahkan
antar Negara. Yang diajak kerja sama biasanya adalah lembaga, badan, Pemda,
atau Negara yang dianggap lebih unggul daripada si pengajak. Harapanya, melalui
kerjasama pihak si pengajak dapat meningkatkan diri. Yang diajak kerjasama pun begitu.
Melalui kerjasama, ia berharap akan mendapatkan manfaat tertentu bagi diri dan lembaganya.
Prinsipnya, terciptanya mutualisme.
Bagaimana dengan FPI? Keunggulan apakah yang
diandalkan Gamawan dalam diri FPI? Nampaknya inilah yang dikuatirkan Ahok dan
publik. Kapabilitas FPI dalam membangun kehidupan agama sangat diragukan. Jangankan
agama di luar Islam, dalam Islam sendiri sebagai agama anutan anggotanya, FPI justru jadi persoalan.
Tentu hal itu bisa difahami. Bagaimana mungkin ormas
yang sering terlibat kekerasan bisa membina umat menjadi lembah-lembut dan
penuh kasih? Relakah NU dan Muhammadiyah
menyerahkan umatnya dibina oleh FPI? Saya sendiri ragu!
Bagaimana mungkin ia membangun kehidupan beragama atas agama yang tidak diakuinya sebagai agama?
Jika dalam Islam tidak, lalu bagaimana FPI membangun
kehidupan beragama umat Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan aliran-aliran
Kepercayaan yang ada? Bagaimana mungkin ia membangun kehidupan beragama atas
agama yang tidak diakuinya sebagai agama? Saya justru berpikir bahwa bila para Kepala
Daerah bekerja sama dengan FPI, maka kehidupan beragama bangsa kita yang
majemuk akan tercabik-cabik. Sebab dengan bekerjasama dengan Kepala Daerah, FPI
memiliki alasan legal untuk membabat semua agama (plus para penganut) yang
tidak sama dengan paham agama anutannya.
Berdasarkan pemahaman itu, mau tidak mau perlu
ditanya agenda apa sebenarnya yang tengah diusung Gamawan? Benarkah beliau
sedang memikirkan pembangunan bangsa dan negara? Bukankah kerjasama yang
dianjurkannya itu berpotensi besar merontokkan keutuhan kita dalam NKRI?
Sebelum berlarut-larut, saya harap Gamawan Fauzi
perlu segera mengoreksi diri. Sebab apa yang dikatakannya merupakan cerminan tingkat
komitmennya terhadap keutuhan NKRI. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar