Selasa, 12 November 2013

Memertanyakan Komitmen Mendagri Terhadap Keutuhan NKRI



Kalau Mendagri (Gamawan Fauzi) sedikit hati-hati, maka berbagai pernyataannya yang sering ditanggapi keras oleh Wagub DKI, Ahok, mungkin tak terjadi. Hal terakhir yang ditentang Ahok, juga digunjingkan publik adalah himbauannya agar para Kepala Daerah bekerjasama dengan FPI dalam bidang agama. 

Sebelum itu, ketegangan keduanya mencuat ketika Ahok mengeritik proyek e-KTP. Berlanjut ketika Gamawan menganjurkan agar Lurah Lenteng Agung (LA), Jaksel, Susan Jasmine Zulkifli diganti karena didemo FPI. Pasalnya, Lurah terpilih hasil lelang Jabatan itu beragama Katolik, tidak beragama sama dengan mayoritas di LA.


Gamawan Fauzi (inilah.com)
Pada ketegangan terakhir, Gamawan dibela keras oleh Kepala Subdit Ormas Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Bachtiar. Seraya membela Gamawan, Bachtiar menyerang Ahok. Ia sangat keberatan karena Ahok sebagai Wagub, berani menentang Mendagri. Dengan alasan itu, Bachtiar menyebut Ahok tidak paham konstitusi, tak tahu etika, tidak tahu tatanan, dan tidak bisa menempatkan diri sebagai Wagub, bawahan Mendagri. Ahok, katanya, lebih cocok sebagai pimpinan ormas atau LSM (JPNN.com, 25/10/2013).

Pertanyaannya, mengapa Gamawan dan Bachtiar getol menyudutkan Ahok dan bersikeras agar para Kepala Daerah bekerjasama dengan FPI dalam membina kehidupan beragama? Apa dasar hukum dan logikanya mengajak FPI dalam membangun kehidupan beragama?

Pesan UU

Pasal 10 ayat (3) huruf f, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tegas menyebutkan bahwa urusan agama adalah urusan Pemerintah Pusat. Bukan Daerah!
Menurut penjelasan pasal itu, kewenangan Pemerintah Pusat terhadap kehidupan beragama, adalah menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan Pemerintah lainnya  yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada Daerah.
Tentang hari libur keagamaan, pemberian pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, dan kebijakan dalam penyenggaraan kehidupan keagamaan bukan wilayah Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota, apalagi FPI. Dari sisi ini tidak ada ruang bagi Kepala Daerah atau FPI untuk membangun kerjasama.
Selanjutnya dijelaskan bahwa khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaannya dalam menumbuh-kembangkan kehidupan beragama (bold dari penulis).

Namun, pelaksanaan pesan UU tersebut tidak bisa digebyah uyah. Sebab istilah “sebagian” tersebut mengandung banyak makna. Tanpa Peraturan pendukung, entah dalam bentuk Kepres ataupun Peraturan Menteri, peluang untuk ditafsirkan suka-suka dan diselewengkan, sangat besar.

Kepala Daerah yang berpikiran sempit, bukan tidak mungkin menggunakan kesempatan itu untuk hanya membantu pengembangan agama anutannya. Atau memberi “angin” kepada kelompok garis keras untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif bagi penganut agama di luar agama anutannya.

Jika hal itu terjadi, maka peristiwa GKI Yasmin di Bogor, HKBP Bekasi, pembabatan Ahmaddiyah hampir dapat dipastikan akan segera menjalar di berbagai tempat. Disadari atau tidak, keadaan tersebut bukannya membangun. Malahan akan merontokkan keutuhan bangsa kita dalam ber-NKRI. Inikah yang dikehendaki Gamawan sebagai Mendagri RI?

Tidak Punya Kapabilitas

Selain lemah dari aspek hukum, logika himbauan Gamawan juga janggal. Normalnya, kerjasama yang benar selalu dibangun dengan lembaga mapan yang sudah terbukti andal dalam membangun kehidupan. Bukan dengan ormas seperti FPI  yang kegiatannya cenderung destruktif.

Hal ini dapat dilihat di berbagai lembaga pada tingkat apa pun. Dalam dunia usaha, Pendidikan, Agama, Politik, antar Pemda bahkan antar Negara. Yang diajak kerja sama biasanya adalah lembaga, badan, Pemda, atau Negara yang dianggap lebih unggul daripada si pengajak. Harapanya, melalui kerjasama pihak si pengajak dapat meningkatkan diri. Yang diajak kerjasama pun begitu. Melalui kerjasama, ia berharap akan mendapatkan manfaat tertentu bagi diri dan lembaganya. Prinsipnya, terciptanya mutualisme.

Bagaimana dengan FPI? Keunggulan apakah yang diandalkan Gamawan dalam diri FPI? Nampaknya inilah yang dikuatirkan Ahok dan publik. Kapabilitas FPI dalam membangun kehidupan agama sangat diragukan. Jangankan agama di luar Islam, dalam Islam sendiri sebagai agama anutan anggotanya, FPI justru jadi persoalan.

Tentu hal itu bisa difahami. Bagaimana mungkin ormas yang sering terlibat kekerasan bisa membina umat menjadi lembah-lembut dan penuh kasih? Relakah NU dan Muhammadiyah menyerahkan umatnya dibina oleh FPI? Saya sendiri ragu!


Bagaimana mungkin ia membangun kehidupan beragama atas agama yang tidak diakuinya sebagai agama?

 
Jika dalam Islam tidak, lalu bagaimana FPI membangun kehidupan beragama umat Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan aliran-aliran Kepercayaan yang ada? Bagaimana mungkin ia membangun kehidupan beragama atas agama yang tidak diakuinya sebagai agama? Saya justru berpikir bahwa bila para Kepala Daerah bekerja sama dengan FPI, maka kehidupan beragama bangsa kita yang majemuk akan tercabik-cabik. Sebab dengan bekerjasama dengan Kepala Daerah, FPI memiliki alasan legal untuk membabat semua agama (plus para penganut) yang tidak sama dengan paham agama anutannya.

Berdasarkan pemahaman itu, mau tidak mau perlu ditanya agenda apa sebenarnya yang tengah diusung Gamawan? Benarkah beliau sedang memikirkan pembangunan bangsa dan negara? Bukankah kerjasama yang dianjurkannya itu berpotensi besar merontokkan keutuhan kita dalam  NKRI? 

Sebelum berlarut-larut, saya harap Gamawan Fauzi perlu segera mengoreksi diri. Sebab apa yang dikatakannya merupakan cerminan tingkat komitmennya terhadap keutuhan NKRI. ***

Tidak ada komentar: