Pembakaran
hutan yang menimbulkan kabut asap di Riau seolah sudah merupakan ritual
tahunan. Tiap tahun terjadi dan tiap tahun pula rakyat menjadi korban. Bukan
cuma rakyat Indonesia di Riau. Tapi juga di daerah sekitar, bahkan rakyat
negara tetangga, Malaysia dan Singapura.
Gangguan
asap tidak pilih-pilih. Yang penting, bila punya mata dan hidung, Anda
pasti merasakannya. Oleh sebab itu, gangguan asap selalu meluas. Selain
kesehatan, asap turut mengganggu kelancaran transportasi darat dan udara.
Sampai awal Maret 2014, Otoritas Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru
mengabarkan lebih 200 penerbangan menjadi 'korban'. Ada penundaan dan ada
pembatalan penerbangan. Ketebalan asap ternyata memendekkan visibilitas pilot
di bawah ambang batas keselamatan penerbangan. (goriau.com)
Korban Disalahkan
Tahun
lalu, Singapura protes keras. Dalam suratnya, Singapura bilang jika Indonesia
tidak sanggup, ia siap mengirim pasukan pemadam. Protes bernada sindiran ini
bisa dipahami. Sebab sebagian besar pusat kota Singapura dan Malaysia tertutup
kabut asap. Saking tebalnya kabut asap, gedung puluhan lantai disana sampai tak
kelihatan. (katakabar.com)
http://news.liputan6.com |
Atas
protes itu, Menteri ESDM, Jero Wacik, bukannya bertindak. Ia malahan menyalahkan Singapura
dan Malaysia dengan mengatakan bahwa mereka bukan tetangga yang baik. Oalaaaa!
"Kalau
dapet senang atau susah bareng-bareng, itu namanya tetangga," ujar Jero
saat ditemui wartawan dalam acara '31st ASEAN Senior Official Meeting On Energy
And Its Associated Meetings' di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, tahun lalu (merdeka.com).
Protes
dari dalam negeri malahan memilukan. Hanya saja, protes rakyat sendiri
sepertinya tenggelam dalam hiruk pikuknya gemuruh korupsi dan politik. Kepala
Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugorho (SPN) menyatakan
korban asap hingga kini 55.422 jiwa terkena penyakit akibat asap di Riau. Di
antaranya 48.390 ISPA, 911 pneumonia, 1.872 asma, 2.481 iritasi kulit, dan
1.768 mata, tulisnya dalam akun twitter @Sutopo_BNPB tanggal 14/03/2014 (dakwatuna.com).
Semula
saya mengira bahwa dengan data itu, SPN membeberkan rencana solusi dan tindakan
terukur BNPB. Ternyata saya salah. SPN justru meniru Jero Wacik dengan
menyalahkan Malaysia. Asap yang menyelimuti Riau, katanya, bukan hanya akibat
pembakaran hutan di Riau, melainkan kiriman dari Malaysia (weleh weleh, kirim
pake apa pak?).
Anehnya Menko Kesra
Syukur
bahwa Presiden SBY masih mau mendengarkan teriakan rakyat. Kendati tidak sampai
mengunjungi rakyat Riau satu persatu, beliau telah menyatakan sikapnya
mengatasi bencana asap di Pekanbaru 15/03/2014. Entah itu dilaksanakan entah
tidak, yang jelas beliau telah memberikan batas waktu tiga minggu. Ini,
merupakan waktu ulur dari batas waktu dua hari yang diberikan beliau tanggal 13
yang lalu.
Persoalannya,
apakah solusi pemadaman semua titik api dan penghilangan asap menjamin tak
terulangnya hal serupa pada tahun-tahun berikutnya? Ini yang belum dijawab
pasti. Baik oleh Presiden maupun para pejabat di bawahnya.
Menko
Kesra, Agung Laksono malahan melontarkan pernyataan aneh. Ia bilang penindakan
hukum terkait pembakaran hutan secara liar sudah berjalan dengan baik. Sejak
tahun 2013 sampai sekarang, pihak kepolisian telah melakukan 41 penindakan.
Terutama korporasi, perusahaan-perusahan perkebunan sawit. Dari 41 penindakan
itu, 25 sudah jadi tersangka dan bahkan sudah ada yang dihukum dari mulai 8
bulan sampai 8 tahun," katanya kepada wartawan di Kantor Presiden, tanggal
27 Februari 2014.
Anehnya,
politisi Golkar ini bisa menyebutkan jumlah yang ditindak. Tetapi, ketika
wartawan menanyakan siapa atau perusahaan apa saja, ia bilang belum tahu (jpnn.com).
Lebih aneh lagi, Agung masih mengatakan beberapa di antaranya yang terlibat
adalah perusahaan milik warga negara Malaysia dan Singapura. Lainnya, milik
pengusaha Indonesia. (Lha ... data yang begituan, data nyata apa karangan pak?)
Motivasi Pembakaran Hutan
Saya
kira, kalau pemeritah sungguh-sungguh mau mengatasi pembakaran hutan di Riau
atau di mana pun, tindakan yang perlu bukan sekedar memadamkan api setiap
tahun. Yang lebih penting adalah menemukan pelaku, menindaknya, dan mencegah
terulangnya pembakaran dengan penegakan hukum.
Sejauh
ini, banyak pejabat yang rajin melontarkan dugaan-dugaan tak berdasar. Para
perokok yang membuang puntung rokok sembarangan atau petani yang membuka lahan
untuk bertani sering dituding sebagai biang kebakaran. Belum ada yang berani
mengemukakan bahwa hutan gambut di Riau dan tempat lain memang dibakar secara
terencana dan sistematis oleh para pengusaha.
Pihak
bank sebetunya paling tahu soal yang beginian. Teman saya yang bekerja di salah
satu bank swasta pernah bercerita tentang itu. Ketika pengusaha mengajukan
kredit usaha sawit atau lainnya, dalam rincian biaya selalu dicantumkan
(rencana) biaya pembakaran lahan. Terkadang terang-terangan, tapi terkadang
disamarkan.
Mengapa
dibakar? Ya, supaya biaya pembukaan lahan murah. Biaya investasi relatif kecil.
Ini diketahui secara pasti oleh pemberi kredit. Pemberi kredit sebenarnya
sangat paham bahwa cara membuka lahan semacam itu tidak benar. Tapi, si petugas
toh menyetujui. Soalnya, tumpukan rupiah dan dollar tampaknya jauh lebih
menggoda daripada logika kebenaran.
Biasanya
biaya dirinci. Ada biaya pembuatan batasan lokasi yang dibakar dengan menebang
pohon dan membersihkan rumput-rumput liar di perbatasan. Maksudnya sih baik,
agar kebakaran tidak meluas. Tapi ketika dibakar, tentu saja angin dan api tak bisa
dibatasi. Ia bisa mengarah ke mana saja sesukanya. Akibatnya, bila rencana
semula hanya 10 hektar, bisa saja meluas menjadi ratusan hektar. Bila yang
direncanakan hanya milik si A, angin dan api ternayata suka juga terhadap lahan
milik B, C, dan D.
Saya
harap peristiwa di Riau bukan seperti itu. Tapi sekedar kelalaian perokok atau
petani yang tidak paham saja. Untuk itu, harus ada upaya pemastian. Pemerintah
perlu meminta bank menyelidiki semua proposal kredit yang masuk di banknya
masing-masing untuk menjawab kebelum-tahuan Agung Laksono.
Alternatif Solusi
Jika
cara itu tidak berhasil, ya, dicari cara lain. Yang gampang adalah identifikasi
pemilik atau pemakai lahan bekas bakaran. Pengguna lahan bekas bakaran, apalagi
untuk usaha, perlu dicurigai sebagai pelaku. Pengusaha itu harus ditindak. Bisa
dengan pidana dan perdata. Kalau perlu, ia dituntut membayar ganti rugi dan
ganti untung yang terkena dampak asap.
Misalnya
saja ia dituntut membayar biaya pengobatan korban sakit dan perawatan sesudahnya,
biaya pembatalan penerbangan, ganti rugi kebun petani yang turut terbakar,
kompensasi bagi yang tidak bisa bekerja karena asap. Ganti untung bisa berupa
perhitungan hasil kerja atau usaha yang mungkin diperoleh bila keadaannya
normal.
Jika
pembakaran sudah dilakukan berulang-ulang, maka ijin usaha perusahaan yang
bersangkutan sudah semestinya dicabut. Sebab tindakan pengusaha semacam ini
dapat digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan seperti dikemukakan SBY kemarin
di Pekanbaru.
Agar
tidak main hakim sendiri, apa pun tindakan yang diambil harus didasarkan pada
ketentuan hukum. Bila ketentuan hukum yang ada belum cukup, maka DPR harus
bergegas membuat UU dan Pemerintah mmebuat PP. Tapi, apa sempat ya? Hampir
semua anggota DPR lagi sibuk “merayu” rakyat untuk urusan Caleg. Susilo Bambang
Yuhoyono pun turut menyibukkan diri berkampanye. ***
Catatan:
Tanggal 22 Maret 2014, media memberitakan bahwa para tersangka pembakar hutan Riau sudah ditetapkan oleh Polda Riau. Salah satu beritanya dapat dibaca pada link di bawah:
Polda Tetapkan 83 Tersangka Pembakar hutan Riau
22 Dari 67 Tersangka Pembakar Hutan Riau Diserahkan ke Kejaksaan
Catatan:
Tanggal 22 Maret 2014, media memberitakan bahwa para tersangka pembakar hutan Riau sudah ditetapkan oleh Polda Riau. Salah satu beritanya dapat dibaca pada link di bawah:
Polda Tetapkan 83 Tersangka Pembakar hutan Riau
22 Dari 67 Tersangka Pembakar Hutan Riau Diserahkan ke Kejaksaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar