Minggu, 16 Maret 2014

"Membakar" Akar Kebakaran Hutan di Riau




Pembakaran hutan yang menimbulkan kabut asap di Riau seolah sudah merupakan ritual tahunan. Tiap tahun terjadi dan tiap tahun pula rakyat menjadi korban. Bukan cuma rakyat Indonesia di Riau. Tapi juga di daerah sekitar, bahkan rakyat negara tetangga, Malaysia dan Singapura. 

Gangguan asap tidak pilih-pilih. Yang penting, bila punya mata dan hidung, Anda pasti merasakannya. Oleh sebab itu, gangguan asap selalu meluas. Selain kesehatan, asap turut mengganggu kelancaran transportasi darat dan udara. Sampai awal Maret 2014, Otoritas Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru mengabarkan lebih 200 penerbangan menjadi 'korban'. Ada penundaan dan ada pembatalan penerbangan. Ketebalan asap ternyata memendekkan visibilitas pilot di bawah ambang batas keselamatan penerbangan. (goriau.com)


Korban Disalahkan

Tahun lalu, Singapura protes keras. Dalam suratnya, Singapura bilang jika Indonesia tidak sanggup, ia siap mengirim pasukan pemadam. Protes bernada sindiran ini bisa dipahami. Sebab sebagian besar pusat kota Singapura dan Malaysia tertutup kabut asap. Saking tebalnya kabut asap, gedung puluhan lantai disana sampai tak kelihatan. (katakabar.com)



http://news.liputan6.com


Atas protes itu, Menteri ESDM, Jero Wacik, bukannya bertindak. Ia malahan menyalahkan Singapura dan Malaysia dengan mengatakan bahwa mereka bukan tetangga yang baik. Oalaaaa! "Kalau dapet senang atau susah bareng-bareng, itu namanya tetangga," ujar Jero saat ditemui wartawan dalam acara '31st ASEAN Senior Official Meeting On Energy And Its Associated Meetings' di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, tahun lalu (merdeka.com).

Protes dari dalam negeri malahan memilukan. Hanya saja, protes rakyat  sendiri sepertinya tenggelam dalam hiruk pikuknya gemuruh korupsi dan politik. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugorho (SPN) menyatakan korban asap hingga kini 55.422 jiwa terkena penyakit akibat asap di Riau. Di antaranya 48.390 ISPA, 911 pneumonia, 1.872 asma, 2.481 iritasi kulit, dan 1.768 mata, tulisnya dalam akun twitter @Sutopo_BNPB tanggal 14/03/2014 (dakwatuna.com). 

Semula saya mengira bahwa dengan data itu, SPN membeberkan rencana solusi dan tindakan terukur BNPB. Ternyata saya salah. SPN justru meniru Jero Wacik dengan menyalahkan Malaysia. Asap yang menyelimuti Riau, katanya, bukan hanya akibat pembakaran hutan di Riau, melainkan kiriman dari Malaysia (weleh weleh, kirim pake apa pak?).

Anehnya Menko Kesra

Syukur bahwa Presiden SBY masih mau mendengarkan teriakan rakyat. Kendati tidak sampai mengunjungi rakyat Riau satu persatu, beliau telah menyatakan sikapnya mengatasi bencana asap di Pekanbaru 15/03/2014. Entah itu dilaksanakan entah tidak, yang jelas beliau telah memberikan batas waktu tiga minggu. Ini, merupakan waktu ulur dari batas waktu dua hari yang diberikan beliau tanggal 13 yang lalu.

Persoalannya, apakah solusi pemadaman semua titik api dan penghilangan asap menjamin tak terulangnya hal serupa pada tahun-tahun berikutnya? Ini yang belum dijawab pasti. Baik oleh Presiden maupun para pejabat di bawahnya.


Menko Kesra, Agung Laksono malahan melontarkan pernyataan aneh. Ia bilang penindakan hukum terkait pembakaran hutan secara liar sudah berjalan dengan baik. Sejak tahun 2013 sampai sekarang, pihak kepolisian telah melakukan 41 penindakan. Terutama korporasi, perusahaan-perusahan perkebunan sawit. Dari 41 penindakan itu, 25 sudah jadi tersangka dan bahkan sudah ada yang dihukum dari mulai 8 bulan sampai 8 tahun," katanya kepada wartawan di Kantor Presiden, tanggal 27 Februari 2014. 

Anehnya, politisi Golkar ini bisa menyebutkan jumlah yang ditindak. Tetapi, ketika wartawan menanyakan siapa atau perusahaan apa saja, ia bilang belum tahu (jpnn.com). Lebih aneh lagi, Agung masih mengatakan beberapa di antaranya yang terlibat adalah perusahaan milik warga negara Malaysia dan Singapura. Lainnya, milik pengusaha Indonesia. (Lha ... data yang begituan, data nyata apa karangan pak?)

Motivasi Pembakaran Hutan

Saya kira, kalau pemeritah sungguh-sungguh mau mengatasi pembakaran hutan di Riau atau di mana pun, tindakan yang perlu bukan sekedar memadamkan api setiap tahun. Yang lebih penting adalah menemukan pelaku, menindaknya, dan mencegah terulangnya pembakaran dengan penegakan hukum. 

Sejauh ini, banyak pejabat yang rajin melontarkan dugaan-dugaan tak berdasar. Para perokok yang membuang puntung rokok sembarangan atau petani yang membuka lahan untuk bertani sering dituding sebagai biang kebakaran. Belum ada yang berani mengemukakan bahwa hutan gambut di Riau dan tempat lain memang dibakar secara terencana dan sistematis oleh para pengusaha. 

Pihak bank sebetunya paling tahu soal yang beginian. Teman saya yang bekerja di salah satu bank swasta pernah bercerita tentang itu. Ketika pengusaha mengajukan kredit usaha sawit atau lainnya, dalam rincian biaya selalu dicantumkan (rencana) biaya pembakaran lahan. Terkadang terang-terangan, tapi terkadang disamarkan. 

Mengapa dibakar? Ya, supaya biaya pembukaan lahan murah. Biaya investasi relatif kecil. Ini diketahui secara pasti oleh pemberi kredit. Pemberi kredit sebenarnya sangat paham bahwa cara membuka lahan semacam itu tidak benar. Tapi, si petugas toh menyetujui. Soalnya, tumpukan rupiah dan dollar tampaknya jauh lebih menggoda daripada logika kebenaran. 

Biasanya biaya dirinci. Ada biaya pembuatan batasan lokasi yang dibakar dengan menebang pohon dan membersihkan rumput-rumput liar di perbatasan. Maksudnya sih baik, agar kebakaran tidak meluas. Tapi ketika dibakar, tentu saja angin dan api tak bisa dibatasi. Ia bisa mengarah ke mana saja sesukanya. Akibatnya, bila rencana semula hanya 10 hektar, bisa saja meluas menjadi ratusan hektar. Bila yang direncanakan hanya milik si A, angin dan api ternayata suka juga terhadap lahan milik B, C, dan D.

Saya harap peristiwa di Riau bukan seperti itu. Tapi sekedar kelalaian perokok atau petani yang tidak paham saja. Untuk itu, harus ada upaya pemastian. Pemerintah perlu meminta bank menyelidiki semua proposal kredit yang masuk di banknya masing-masing untuk menjawab kebelum-tahuan Agung Laksono.

Alternatif Solusi

Jika cara itu tidak berhasil, ya, dicari cara lain. Yang gampang adalah identifikasi pemilik atau pemakai lahan bekas bakaran. Pengguna lahan bekas bakaran, apalagi untuk usaha, perlu dicurigai sebagai pelaku. Pengusaha itu harus ditindak. Bisa dengan pidana dan perdata. Kalau perlu, ia dituntut membayar ganti rugi dan ganti untung yang terkena dampak asap.

Misalnya saja ia dituntut membayar biaya pengobatan korban sakit dan perawatan sesudahnya, biaya pembatalan penerbangan, ganti rugi kebun petani yang turut terbakar, kompensasi bagi yang tidak bisa bekerja karena asap. Ganti untung bisa berupa perhitungan hasil kerja atau usaha yang mungkin diperoleh bila keadaannya normal. 

Jika pembakaran sudah dilakukan berulang-ulang, maka ijin usaha perusahaan yang bersangkutan sudah semestinya dicabut. Sebab tindakan pengusaha semacam ini dapat digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan seperti dikemukakan SBY kemarin di Pekanbaru.

Agar tidak main hakim sendiri, apa pun tindakan yang diambil harus didasarkan pada ketentuan hukum. Bila ketentuan hukum yang ada belum cukup, maka DPR harus bergegas membuat UU dan Pemerintah mmebuat PP. Tapi, apa sempat ya? Hampir semua anggota DPR lagi sibuk “merayu” rakyat untuk urusan Caleg. Susilo Bambang Yuhoyono pun turut menyibukkan diri berkampanye. ***

Catatan:
Tanggal 22 Maret 2014, media memberitakan bahwa para tersangka pembakar hutan Riau sudah ditetapkan oleh Polda Riau. Salah satu beritanya dapat dibaca pada link di bawah:

Polda Tetapkan 83 Tersangka Pembakar hutan Riau
22 Dari 67 Tersangka Pembakar Hutan Riau Diserahkan ke Kejaksaan





Tidak ada komentar: