Oleh Yosafati Gulo
"Bila memang menghendaki kebaikan
bangsa dan negara, solusinya bukan dengan menjadi golput"
SEJUMLAH orang terus menggaungkan niat untuk menjadi
golput. Daripada memilih caleg bobrok mendingan menjadi golput. Lagi pula,
memilih untuk tidak memilih juga sah secara hukum. Tidak menggunakan hak pilih
adalah bagian dari hak asasi manusia. Itulah antara lain argumen yang dipakai
oleh penyeru golput.
Sepintas, alasan tersebut masuk akal. Orang normal,
mustahil memilih yang tak normal, apalagi bobrok. Juga caleg yang hobi korupsi,
kerap melanggar etika dan norma susila, atau suka tipu-tipu, memang tak perlu
dipilih.
Apakah semua caleg pasti begitu? Semua bobrok? Apakah penyeru golput
sudah menelusuri secara objektif rekam jejak semuanya? Saya kira belum tentu.
Jika ada satu dua yang melakukan, diyakini tidak mencakup semua caleg. Karena
itu, menuduh bobrok semua caleg, nantinya tak bakal memikirkan rakyat, dan
predikat negatif lainnya, adalah sikap gegabah.
Tampaknya, acuan penyeru golput adalah penampilan anggota
legislatif periode lalu dan kinerja pemerintah yang lamban dalam banyak hal.
Alasan itu memang logis. Banyaknya anggota legislatif dan gubernur/bupati/wali
kota masuk bui karena korupsi, dan ada sekitar 90% caleg muka lama makin
menguatkan argumen para penyeru golput.
Argumen lainnya adalah kebiasaan caleg mengumbar janji demi
kesejahteraan rakyat selama kampanye, biasanya banyak bohongnya. Tak lebih dari
sekadar rayuan gombal agar mereka dipilih. Setelah terpilih, istilah yang
dipakai pun berubah, menjadi siapa lu, siapa gue!
Kendati benar, argumen tersebut sulit dipertahankan secara logis. Pasalnya,
asumsi dari argumen itu adalah sebuah keyakinan bahwa manusia tak bakal
berubah. Apa dan bagaimana seseorang kemarin maka itulah dirinya hari ini dan
esok. Kalau kemarin ia bobrok maka hari ini dan esok ia pasti bobrok. Benarkah?
Saya tetap berkeyakinan siapa pun cenderung bisa berubah.
Entah karena belajar dari kesalahan sendiri, karena pengaruh lingkungan, atau
karena dorongan cita-cita diri yang lebih baik bagi diri dan sesama. Pada
penyeru golput pun begitu. Mereka pasti berpeluang untuk berubah. Bisa ke arah
yang buruk atau sebaliknya. Itu artinya, jangan menghakimi masa depan dengan
potret buram masa lalu.
Bila memang menghendaki kebaikan bangsa dan negara,
solusinya bukan dengan menjadi golput karena pilihan itu tidak mencerminkan
semangat dan kerja keras memperbaiki perpolitikan dan pemerintahan. Golput
adalah sikap apatis, tidak mau tahu, dan semacam pembiaran. Ditinjau dari aspek
apa pun, sikap semacam itu tidaklah membangun.
Mengontrol Kinerja
Dengan menggunakan hak pilih, si pemilih memiliki alasan
untuk mengontrol dan memelototi kinerja legislatif. Apa yang dijanjikan saat
kampanye ,dicatat baik-baik. Catatan itu bukan untuk disimpan dalam map
melainkan jadi bahan untuk mengontrol kinerja, sikap hidup, dan tindakan caleg
setelah berkiprah di legislatif.
Cara lainnya adalah tiap caleg diminta membuat kontrak politik
atau pernyataan politik tentang agenda perjuangannya di legislatif. Termasuk
pernyataan tentang sikap hidup terpuji yang mencerminkan harapan ideal
masyarakat. Pernyataan tersebut disebar kepada seluruh konstituen sebagai alat
kontrol mereka terhadap legislator tersebut.
Parpol pengusung caleg juga harus mendukung apa yang
diharapkan konstituen. Jika anggota legislatif melanggar kotrak atau pernyataan
politiknya kepada konstituen kelak maka parpol harus tegas bertindak. Misal
menariknya dari keanggotaan legislatif. Pernyataan sikap tegas parpol itu pun
perlu disebar kepada konstituen.
Keterwujudan hal itu mensyaratkan setidak-tidaknya dua hal.
Pertama; tiap parpol perlu membangun sistem informasi yang dapat diakses rakyat
untuk melaporkan tiap pelanggaran anggota legislatif. Kalau pelanggaran itu
bersifat atau menjurus ke tindak pidana, sistem tersebut perlu dikoneksikan ke
KPK atau penegak hukum lain. Sistem kerjanya, bisa meniru sistem kerja
perbankan online dan real time.
Kedua; penilaian terhadap anggota legislatif jangan hanya
oleh parpol. Perlu mengombinasikan data dari rakyat dengan data parpol
berdasarkan kriteria terukur. Hasil penilaian itu diumumkan secara berkala
kepada rakyat melalui media massa. Termasuk di antaranya data kehadiran legislator
dalam sidang-sidang komisi dan sidang pleno.
Menuntut beberapa hal itu kepada
caleg dan parpol jauh lebih baik ketimbang menjadi golput. Jika tidak dipenuhi,
ganjarlah mereka dengan tidak memilih caleg dari parpol bersangkutan. (10)
________________
Catatan: Tulisan di atas dimuat pada harian Suara Merdeka cetak, terbitan Semarang, tanggal 25 Maret 2014. Dapat dibaca pada link ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar