Oleh Yosafati Gulö
Sejak Komjen Pol Budi Gunawan (BG) ditetapkan menjadi tersangka korupsi dan gratifikasi oleh KPK, pembicaraan tentang konsep penyelenggara negara menjadi lebih intens. Pakar hukum tata negara dari Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis, adalah salah seorang yang sering membahas istilah itu ketika berbiacara kepada media, debat di tv, dan terakhir ketika memberikan keterangan sebagai saksi ahli pada sidang pra peradilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 11 Februari 2015.
Sejak Komjen Pol Budi Gunawan (BG) ditetapkan menjadi tersangka korupsi dan gratifikasi oleh KPK, pembicaraan tentang konsep penyelenggara negara menjadi lebih intens. Pakar hukum tata negara dari Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis, adalah salah seorang yang sering membahas istilah itu ketika berbiacara kepada media, debat di tv, dan terakhir ketika memberikan keterangan sebagai saksi ahli pada sidang pra peradilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 11 Februari 2015.
Salah
satu pertimbangan Hakim Sarpin
Rizaldi ketika memutuskan mengabulkan sebagian permohonan BG adalah istilah itu. Menurutnya,
KPK tidak mempunyai wewenang menyelidik, menyidik dan menuntut tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Budi Gunawan. Sebab, Budi Gunawan pada saat
menjabat sebagai Karobinkar bukan termasuk dalam penyelenggara negara ataupun
penegak hukum. Karobinkar bersifat struktural dibawah Kapolri yang bekerja
dalam deputi SDM. Selain itu, saat menjadi Karobinkar Mabes Piolri, Budi
Gunawan masih menjabat sebagai pejabat eselon II.
Logika
orang hukum, barangkali mudah menerima alasan itu. Mereka bisa memeriksa
ketentuan yang mengatur kewenangan KPK. Tapi bagaimana dengan awam? Bagi awam,
sama saja. Entah dia presiden, polisi, guru, camat, atau lainnya adalah
penyelenggara negara karena pekerjaan mereka adalah semua urusan negara dengan
warga negara.
Polisi Bukan Penegak Hukum?
Katakanlah
BG benar bukan penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam UU No 28 Tahun
1999 sehingga ia tidak dapat dijerat oleh KPK berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU
No 30 Tahun 2002 versi hakim Sarpi Rizaldi. Tapi beliau toh Polisi, dan Polisi
itu adalah penegak hukum. Bagaiaman mungkin Hakim Sarpin bilang beliau tidak
dapat dijerat dengan Pasal 11 UU No 30 Tahun 2002 atau UU No 20 Tahun 2001?
Pasal itu jelas menegaskan bahwa dalam melaksanakan
tugasnya, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Persoalannya,
mengapa Sarpin Rizaldi tidak memertimbangkan posisi BG sebagai penegak hukum
sehingga penetapannya sebagai tersangka oleh KPK sah? Dengan tidak memertimbangkan
hal itu, maka ada setidaknya dua pertanyaan yang perlu dijawab oleh hakim
Sarpin Rizaldi. Pertama, apakah BG berstatus sebagai polisi ketika menjabat Karobinkar
Mabes Piolri pada tahun 2003-2006? Jika
ya, mengapa hakim Sarpin Rizaldi menyangkalnya?
Kedua,
jika pada saat itu BG berstatus sebagai polisi apakah beliau bukan penegak
hukum? Ataukah dalam posisi seperti itu, seorang polisi tidak bisa dijadikan
sebagai tersangka oleh KPK walaupun melakukan tindakan korupsi dan/atau
gratifikasi?
Yang
jelas bahwa ketentuan Pasal 11 huruf a UU KPK sudah menegaskan hal tersebut. Sekalipun
BG bukan penyelenggara negara atau bukan pejabat eselon I seperti dikatakan Margarito,
tapi karena faktanya beliau adalah polisi, penegak hukum, maka mau tidak mau
beliau dapat dijerat oleh UU KPK. Persoalannya mengapa hal ini tidak
dipertimbangkan Hakim Sarpin Rizaldi?
Belum
lagi kalau dikaitkan dengan Pasal 12 huruf
atau b jo Pasal 5 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, makin jelas bahwa hakim Sarpi Rizaldi tidak memiliki
alasan hukum yang kuat untuk menyatakan bahwa penetapan BG sebagai tersangka
oleh KPK tidak sah.
Bekerja secata Koletif
Yang
tak kalah aneh adalah penafsiran Profesor Romli atas ketentuan Pasal 21 ayat
(5) UU KPK yang dijadikan rujukan keputusan oleh hakim. Bagi Romli istilah
“bekerja secaca kolektif” diartikannya bahwa dalam mengambil keputusan pimpinan
KPK harus berjumlah 5 orang. Padalah UU sendiri menegaskan dalam penjelasannya
bahwa yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” itu adalah bahwa setiap
pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh
Pimpinan KPK.
Saya
kira penjelasan ayat itu sudah sangat jelas. Maksudnya, dalam mengambil
keputusan pimpinan KPK harus melakukannya secara bersama. Tidak boleh oleh satu
orang atau sendiri-sendiri. Bisa lengkap 5 orang atau kurang. Kalau UU
mengharuskan seperti penafsiran Profesor Romli, sudah pasti tidak hanya
dirumuskan “bekerja secara kolektif” saja. Ada kemungkinan dirumuskan menjadi
“setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara
bersama-sama oleh 5 orang pimpinan KPK”.
Tampaknya,
jalan pikiran tersebut dianut DPR. Indikasinya ialah respon DPR ketika masa jabatan Busyro Muqqodas berakhir pada Desember 2014.
Saat itu Presiden SBY sudah menyerahkan dua nama calon pengganti Busyro
ke DPR. Namun, DPR memutuskan menunda dan memutuskan memilih bersamaan
pengganti empat pimpinan lainnya yang masa tugasnya berakhir pada 10 Desember
2015
Terus
terang, kalau jalan pikiran Profesor Romli ini yang diikuti, maka di kala
pimpinan hanya 4 orang atau kurang bisa dipastikan KPK tidak bisa bekerja.
Kendati ada yang tertangkap tangan melakukan korupsi, pimpinan KPK tidak
berwenang menetapkan statusnya sebagai tersangka.
Pertanyaan
saya, inikah yang dikehendaki oleh profesor hukum, yang disebut ahli di
praperadilan BG dan bersengkongkol dengan para pengacara BG? Apakah para ahli
hukum di Tanah Air, termasuk Hakim Tuggal Sarpin Rizaldi sudah tak punya nalar
dan nyali lagi untuk menegakkan kebenaran hukum? ***
Catatan:
Tulisan ini, telah dimuat di harian Analisa terbitan Medan, pada tanggal 27 Februari 2015. Linknya adalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar