Tinggal dua hari lagi, tepatnya 27 Oktober 2016, putusan
majelis hakim yang mengadili perkara Jessica di bawah komando Kisworo dibantu Partahi Tulus Hutapea dan
Binsar Gultom akan diketahui publik. Ada kemungkinan detak jantung para pihak
yang berperkara, termasuk JPU dan publik, makin tak teratur menunggu putusan hakim
terhadap terdakwa Jessica. Ada kemungkinan banyak yang bertanya-tanya apakah
hakim akan mengabulkan tuntutan JPU, menghukum Jessica 20 tahun, atau kurang,
atau lebih, ataukah sebaliknya, membebaskannya dari segala tuntutan hukum?
Pasalnya,
publik tahu bahwa apa yang terungkap di persidangan belum memberi bukti kuat bahwa
Mirna meninggal karena sianida dan hal itu dilakukan oleh Jessica. Benar bahwa
keterangan ahli yang didatangkan JPU memberi petunjuk yang mengarah ke Jessica.
Namun, tak satu pun saksi yang melihat bahwa Jessica melakukan hal yang
dituduhkan. Keterangan ahli dari JPU itu pun terus menjadi perdebatan ilmiah
karena mendapat bantahan dari ahli lain dengan latar belakang ilmu, pengalaman,
dan keahlian yang setara.
Banyak Kejanggalan
Para
hakim sendiri paham bahwa sejak kejadian di kafe Olivier sampai proses
penetapan Jessica sebagai tersangka ada banyak kejanggalan yang semestinya tak
terjadi jika penyidik lebih profesional. Pertama,
di saat kejadian, TKP tidak disterilkan dengan police line sebagimana lazimnya.
Kedua, kopi yang disangka ada
sianida tidak langsung diamankan polisi. Ketiga,
para pihak yang terkait dengan kopi yang diminum Mirna tidak diposisikan sama. Penyidik
hanya mau membidik Jessica. Padahal Rangga sebagai peracik kopi dan Agus
Triyono sebagai pengantar kopi ke meja 54 sama-sama berpotensi melakukan
kejahatan seperti disangkakan kepada Jessica.
Hakim juga
paham bahwa otopsi jenazah adalah tindakan yang tak boleh ditawar-tawar pada
kematian yang dinilai tak wajar. Ahli Kedokteran Forensik dari Universitas Indonesia, Profesor dr Budi
Sampurna, mengakui hal tersebut sebagamana ditegaskan pada Pasal 134 KUHAP. Tak seorang pun boleh
menghalangi otopsi dengan alasan apapun. Jika misalnya keluarga mencegah,
keberatan, penyidik memberi penjelasan bahwa hal itu sangat diperlukan. Bagi
yang menghalang-halangi, mencegah, maka ancamannya adalah pidana penjara
sebagaimana diatur pada Pasal 222 KUHP. Namun, keharusan ini ternyata diabaikan
oleh penyidik.
Kejanggalan-kejanggalan
itulah yang terus disoal oleh penasihat hukum Jessica, awam, dan para ahli
hukum, sehingga hakim jadi bingung.
Beberapa
petunjuk yang dapat dicurigai sebagai alat bukti tak serta merta menjadi alasan
logis untuk menyimpulkan bahwa Jessica adalah pelaku. Bagi yang otaknya diisi
dengan prasangka, sikap dan pikiran apriori dengan kaca mata negatif, apa pun yang
dilakukan Jessica pasti ditafsirkan sebagai petunjuk. Mau bersikap tenang atau
gugup, senyum atau menangis, berbicara teratur atau terbata-bata, melihat
dengan sorot mata tajam atau layu, duduk tegak atau menunduk, pasti mereka maknai
sebagai petunjuk bahwa Jessica adalah pelaku sesuai dengan sikap dan cara
pandang mereka. Hal ini pun, sangat dipahami oleh hakim.
Sinyal Keraguan JPU
Kini,
tahap yang paling menentukan sebelum putusan hakim sudah dilalui dalam 31 kali
persidangan. Hal ini dikenal dengan istilah proses pemeriksaan dan pembuktian. Ada
27 kali persidangan pemeriksaan puluhan
saksi, mendengarkan keterangan puluhan ahli dari pihak JPU dan kuasa hukum terdakwa,
termasuk keterangan terdakwa, Jessica. Empat persidangan lainnya adalah
pembacaan tuntutan, pleidoi, replik, dan duplik.
Semua
yang menonton TV dan/atau pembaca berita persidangan di media cetak dan online sudah
tahu isi keterangan para saksi dan keterangan ahli. Semua paham bahwa JPU
menghendaki agar Jessica dihukum. Ia didakwa Pasal 340 KUHP oleh JPU, dengan
tuduhan pembunuhan berencana dan sadis. Tetapi publik juga tahu bahwa JPU gagal
membuktikan dakwaan tersebut secara meyakinkan.
Tampaknya,
keadaan itulah yang mendorong mantan Hakim Agung, Bagir Manan, turut berkomentar. Menurut beliau, hakim
harus membebaskan Jessica jika tidak memiliki bukti mencampurkan sianida ke
kopi Vietnam yang diminum Wayan Mirna Salihin.
Anehnya, apa
yang didakwakan dan tuntutan hukuman jauh dari selaras. Di satu sisi JPU
mengakwa Jessica dengan pembunuhan berencana dan sadis tanpa ada hal yang
meringankan terdakwa. Namun, di sisi lain JPU hanya menunutut Jessica dengan
hukuman 20 tahun penjara. Jelas tidak klop, bukan? Dengan dakwaan itu, JPU semestiya
menuntut hukuman mati atau paling rendah seumur hidup.
Bagi mantan
hakim agung Djoko Sarwoko, tuntutan tersebut tidak masuk akal. Penjatuhan
tuntutan 20 tahun semestinya disertai dengan satu-dua hal yang meringankan
Jessica. Selama persidangan, hal tersebut jelas nyata ada. Herannya, fakta itu tidak
masuk dalam hitungan JPU, ujarnya ketika diwawancarai TV One.
Diakui atau
tidak, ketidakselarasan tersebut merupakan indikasi bahwa JPU belum yakin,
masih ragu pada alat bukti yang ada. Akibatnya, mereka jadi bimbang menuntut
Jessica dengan hukuman maksimal. Mereka seolah mengirim sinyal kepada hakim
tentang apa yang mereka rasakan setelah proses persidangan.
Boleh
jadi, di saat merumuskan tuntuan, JPU tiba-tiba “dihantui” oleh “virus” kejujuran
hati nurani dan pemberontakan nalar mereka sendiri. Oleh sebab itu, apa yang
semula mereka kategorikan sebagai alat bukti tiba-tiba disadari belum kuat.
Desakan nalar tampaknya menghentak nurani mereka bahwa pergerakan Jessica yang
terekam CCTV: membayar lebih dulu, tolah-toleh saat duduk sendirian menunggu
Mirna dan Hani, memindahkan gelas, menaruh paper
bag di atas meja, atau membuang celana yang dipakai saat kejadian karena
sobek, tidak selalu dirancang untuk suatu tujuan buruk.
Mungkin di
saat-saat terakhir mereka baru sadar bahwa orang senyum tidak selalu berarti
senang atau gembira. Menangis tidak selalu berarti susah atau sedih. Sikap diam
tidak selalu berarti setuju, atau protes tidak selalu berarti menentang. Otak
waras JPU mendorong mereka untuk paham bahwa banyak hal bisa terjadi tanpa
tujuan khusus, tanpa direncanakan, atau tanpa disadari sebagaimana layaknya
setiap manusia waras-normal dalam kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali JPU.
Hakim Bingun
Saat ini,
majelis hakim sedang memasuki tahap musyawarah guna menetapkan putusan. Dasar
putusan adalah dakwaan JPU yang
dikonfrosntasi dengan hasil pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan. Untuk
sampai pada putusan, mereka mengurai kembali, menganalisis keseuaian antara apa
yang didakwakan dengan alat bukti yang ada.
Sudah
pasti setiap anggota majelis hakim memiliki keyakinan atas alat bukti yang ada.
Hal itu bisa sama tapi bisa juga berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan
itulah yang didalami, diurai, dianalisis dalam tahap musyarawah.
Proses
itu pasti tidak mudah. Terlebih-lebih kalau ketiga hakim memiliki keyakinan
yang berbeda secara tajam atas alat bukti yang ada. Makin sulit lagi bila ada di
antaranya telah menetapkan sikap dan pendiriannya sebelum proses pemeriksaan
dan pembuktian. Istilah kasarnya, sudah menjatuhkan vonis bersalah terhadap
Jessica meskipun masih dalam hati sebelum penutupan sidang.
Dugaan
ini muncul karena di saat pendengarkan keterangan ahli
forensik RSCM Djaja Surya Atmadja, Hakim Binsar Gultom terkesan bersikap sama dengan JPU. Cara bertanya dan sikap
Binsar kepada ahli mirip dengan kelakuan JPU. Ahli terkesan diintimidasi tak
ubahnya seorang pesakitan, terdakwa.
Entah
sadar entah tidak, sikap Binsar tersebut sangat tidak netral. Lebih-lebih
ketika ia menyarankan agar Djaja tidak memberikan keterangan yang berbeda
dengan keterangan ahli sebelumnya, yang menyatakan bahwa Mirna mati karena
sianida. Alasan Binsar adalah Djaja dan para ahli tersebut berasal dari
perguruan tinggi yang sama dengan Djaja. Sudah tentu ilmunya sama karena buku yang
dibaca juga sama.
Suasana
sidang seperti itulah yang dikritik oleh mantan hakim Agung, Djoko Sarwoko. Dalam
penilaian Djoko, pertanyaan hakim sudah menjurus memengaruhi ahli. “Ini tidak sehat”, ujarnya
kepada TV one.
Dalam penilaian Aliansi Advokat Muda
Indonesia (AAMI) dan Perlindungan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), sikap
tersebut bukan hanya dilakukan Binsar. Tiga hakim yang mengadili Jessica
malahan dinilai tidak adil oleh AAMI dan PBHI sehingga melaporkan tiga hakim
tersebut ke Komisi Yudisial (KY). Menurut mereka tindakan hakim dalam
persidangan sangat kentara pro JPU.
Contohnya
dalam persidangan aquo, hakim menghalangi terdakwa melakukan simulasi kopi, tapi di
lain pihak hakim hakim memberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada JPU untuk
melakukan pembuktian," ujar Rizky, ketua AAMI, di Kantor Komisi Yudisial,
Jakarta Pusat sebagaimana diberitakan liputan 6 com.
Kondisi
ini menunjukkan adanya peperangan dalam batin para hakim. Bukan mustahil mereka malahan bingung sendiri. Di satu sisi sudah
terlanjur apriori, menentukan sikap yang sama dengan JPU. Tetapi, di sisi
lain bukti yang didakwakan belum kuat. JPU sendiri bahkan mengirimkan
sinyal keraguan mereka secara halus kepada hakim melalui rumusan tuntutan yang bersilangan dengan dakwaan.
Harapan
publik, sikap netral hakim harus dimunculkan saat menilai semua alat bukti (keterangan
para saksi, keterangan ahli dan fakta-akta persidangan). Panduannya adalah ketentuan
Pasal 183 KUHAP. Putusan yang diambil hakim harus didasarkan pada setidaknya
dua alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat bukti tersebut majelis memeroleh
keyakinan bahwa tindak pidana pembunuhan Mirna benar-benar terjadi dan terdakwa
Jessicalah yang bersalah melakukannya.
Jika
tidak demikian, hakim tak perlu memaksakan diri menghukum Jessica. Apa yang
disarankan oleh Bagir Manan dan beberapa ahli hukum lain perlu dipertimbangkan sebagaimana
diperintahkan oleh ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas.
Pada titik ini, tahap musyawarah anggota mejelis hakim
menjadi faktor kunci. Masa depan Jessica ditentukan oleh tiga orang hakim.
Posisi mereka mirip Tuhan si penentu nasib. Dengan demikian, jika meerka salah menilai
dan memaknai alat bukti, maka putusan yang diambil pasti salah. Dan ini, bisa
berakibat fatal. Bukan saja memburamkan masa depan Jessica, tetapi juga memburamkan
nalar dan nurani majelis hakim, serta masa depan keadilan.
Majelis hakim perlu ingat bahwa meninggalnya Mirna secara
tidak wajar membuat banyak orang berduka. Lebih-lebih keluarganya. Tetapi,
jangan sampai duka tersebut membuat hakim bingung, lalu menghukum orang yang hadir
pada waktu dan temat yang salah, sekalipun ia tidak terbukti bersalah. Majelis
hakim perlu tetap ingat adagium yang mengatakan lebih baik membebaskan seribu
orang yang bersalah daripada menguhukum satu orang yang benar. *** (arsip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar