Rabu, 26 Oktober 2016

Kebingungan Hakim Memutuskan Hukuman Jessica

Tinggal dua hari lagi, tepatnya 27 Oktober 2016, putusan majelis hakim yang mengadili perkara Jessica di bawah komando Kisworo dibantu Partahi Tulus Hutapea dan Binsar Gultom akan diketahui publik. Ada kemungkinan detak jantung para pihak yang berperkara, termasuk JPU dan publik, makin tak teratur menunggu putusan hakim terhadap terdakwa Jessica. Ada kemungkinan banyak yang bertanya-tanya apakah hakim akan mengabulkan tuntutan JPU, menghukum Jessica 20 tahun, atau kurang, atau lebih, ataukah sebaliknya, membebaskannya dari segala tuntutan hukum?

Pasalnya, publik tahu bahwa apa yang terungkap di persidangan belum memberi bukti kuat bahwa Mirna meninggal karena sianida dan hal itu dilakukan oleh Jessica. Benar bahwa keterangan ahli yang didatangkan JPU memberi petunjuk yang mengarah ke Jessica. Namun, tak satu pun saksi yang melihat bahwa Jessica melakukan hal yang dituduhkan. Keterangan ahli dari JPU itu pun terus menjadi perdebatan ilmiah karena mendapat bantahan dari ahli lain dengan latar belakang ilmu, pengalaman, dan keahlian yang setara.


Banyak Kejanggalan

Para hakim sendiri paham bahwa sejak kejadian di kafe Olivier sampai proses penetapan Jessica sebagai tersangka ada banyak kejanggalan yang semestinya tak terjadi jika penyidik lebih profesional. Pertama, di saat kejadian, TKP tidak disterilkan dengan police line sebagimana lazimnya. Kedua, kopi yang disangka ada sianida tidak langsung diamankan polisi. Ketiga, para pihak yang terkait dengan kopi yang diminum Mirna tidak diposisikan sama. Penyidik hanya mau membidik Jessica. Padahal Rangga sebagai peracik kopi dan Agus Triyono sebagai pengantar kopi ke meja 54 sama-sama berpotensi melakukan kejahatan seperti disangkakan kepada Jessica.

Hakim juga paham bahwa otopsi jenazah adalah tindakan yang tak boleh ditawar-tawar pada kematian yang dinilai tak wajar. Ahli Kedokteran Forensik dari Universitas Indonesia, Profesor dr Budi Sampurna, mengakui hal tersebut sebagamana ditegaskan pada Pasal 134 KUHAP. Tak seorang pun boleh menghalangi otopsi dengan alasan apapun. Jika misalnya keluarga mencegah, keberatan, penyidik memberi penjelasan bahwa hal itu sangat diperlukan. Bagi yang menghalang-halangi, mencegah, maka ancamannya adalah pidana penjara sebagaimana diatur pada Pasal 222 KUHP. Namun, keharusan ini ternyata diabaikan oleh penyidik.

Kejanggalan-kejanggalan itulah yang terus disoal oleh penasihat hukum Jessica, awam, dan para ahli hukum, sehingga hakim jadi bingung.

Beberapa petunjuk yang dapat dicurigai sebagai alat bukti tak serta merta menjadi alasan logis untuk menyimpulkan bahwa Jessica adalah pelaku. Bagi yang otaknya diisi dengan prasangka, sikap dan pikiran apriori dengan kaca mata negatif, apa pun yang dilakukan Jessica pasti ditafsirkan sebagai petunjuk. Mau bersikap tenang atau gugup, senyum atau menangis, berbicara teratur atau terbata-bata, melihat dengan sorot mata tajam atau layu, duduk tegak atau menunduk, pasti mereka maknai sebagai petunjuk bahwa Jessica adalah pelaku sesuai dengan sikap dan cara pandang mereka. Hal ini pun, sangat dipahami oleh hakim.

Sinyal Keraguan JPU

Kini, tahap yang paling menentukan sebelum putusan hakim sudah dilalui dalam 31 kali persidangan. Hal ini dikenal dengan istilah proses pemeriksaan dan pembuktian. Ada 27 kali persidangan  pemeriksaan puluhan saksi, mendengarkan keterangan puluhan ahli dari pihak JPU dan kuasa hukum terdakwa, termasuk keterangan terdakwa, Jessica. Empat persidangan lainnya adalah pembacaan tuntutan, pleidoi, replik, dan duplik.

Semua yang menonton TV dan/atau pembaca berita persidangan di media cetak dan online sudah tahu isi keterangan para saksi dan keterangan ahli. Semua paham bahwa JPU menghendaki agar Jessica dihukum. Ia didakwa Pasal 340 KUHP oleh JPU, dengan tuduhan pembunuhan berencana dan sadis. Tetapi publik juga tahu bahwa JPU gagal membuktikan dakwaan tersebut secara meyakinkan.
Tampaknya, keadaan itulah yang mendorong mantan Hakim Agung, Bagir Manan, turut berkomentar. Menurut beliau, hakim harus membebaskan Jessica jika tidak memiliki bukti mencampurkan sianida ke kopi Vietnam yang diminum Wayan Mirna Salihin.

Anehnya, apa yang didakwakan dan tuntutan hukuman jauh dari selaras. Di satu sisi JPU mengakwa Jessica dengan pembunuhan berencana dan sadis tanpa ada hal yang meringankan terdakwa. Namun, di sisi lain JPU hanya menunutut Jessica dengan hukuman 20 tahun penjara. Jelas tidak klop, bukan? Dengan dakwaan itu, JPU semestiya menuntut hukuman mati atau paling rendah seumur hidup.
Bagi mantan hakim agung Djoko Sarwoko, tuntutan tersebut tidak masuk akal. Penjatuhan tuntutan 20 tahun semestinya disertai dengan satu-dua hal yang meringankan Jessica. Selama persidangan, hal tersebut jelas nyata ada. Herannya, fakta itu tidak masuk dalam hitungan JPU, ujarnya ketika diwawancarai TV One.

Diakui atau tidak, ketidakselarasan tersebut merupakan indikasi bahwa JPU belum yakin, masih ragu pada alat bukti yang ada. Akibatnya, mereka jadi bimbang menuntut Jessica dengan hukuman maksimal. Mereka seolah mengirim sinyal kepada hakim tentang apa yang mereka rasakan setelah proses persidangan.

Boleh jadi, di saat merumuskan tuntuan, JPU tiba-tiba “dihantui” oleh “virus” kejujuran hati nurani dan pemberontakan nalar mereka sendiri. Oleh sebab itu, apa yang semula mereka kategorikan sebagai alat bukti tiba-tiba disadari belum kuat. Desakan nalar tampaknya menghentak nurani mereka bahwa pergerakan Jessica yang terekam CCTV: membayar lebih dulu, tolah-toleh saat duduk sendirian menunggu Mirna dan Hani, memindahkan gelas, menaruh paper bag di atas meja, atau membuang celana yang dipakai saat kejadian karena sobek, tidak selalu dirancang untuk suatu tujuan buruk.

Mungkin di saat-saat terakhir mereka baru sadar bahwa orang senyum tidak selalu berarti senang atau gembira. Menangis tidak selalu berarti susah atau sedih. Sikap diam tidak selalu berarti setuju, atau protes tidak selalu berarti menentang. Otak waras JPU mendorong mereka untuk paham bahwa banyak hal bisa terjadi tanpa tujuan khusus, tanpa direncanakan, atau tanpa disadari sebagaimana layaknya setiap manusia waras-normal dalam kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali JPU.

Hakim Bingun

Saat ini, majelis hakim sedang memasuki tahap musyawarah guna menetapkan putusan. Dasar putusan adalah  dakwaan JPU yang dikonfrosntasi dengan hasil pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan. Untuk sampai pada putusan, mereka mengurai kembali, menganalisis keseuaian antara apa yang didakwakan dengan alat bukti yang ada.

Sudah pasti setiap anggota majelis hakim memiliki keyakinan atas alat bukti yang ada. Hal itu bisa sama tapi bisa juga berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan itulah yang didalami, diurai, dianalisis dalam tahap musyarawah.

Proses itu pasti tidak mudah. Terlebih-lebih kalau ketiga hakim memiliki keyakinan yang berbeda secara tajam atas alat bukti yang ada. Makin sulit lagi bila ada di antaranya telah menetapkan sikap dan pendiriannya sebelum proses pemeriksaan dan pembuktian. Istilah kasarnya, sudah menjatuhkan vonis bersalah terhadap Jessica meskipun masih dalam hati sebelum penutupan sidang.

Dugaan ini muncul karena di saat pendengarkan keterangan ahli forensik RSCM Djaja Surya Atmadja, Hakim Binsar Gultom terkesan bersikap sama dengan JPU. Cara bertanya dan sikap Binsar kepada ahli mirip dengan kelakuan JPU. Ahli terkesan diintimidasi tak ubahnya seorang pesakitan, terdakwa.

Entah sadar entah tidak, sikap Binsar tersebut sangat tidak netral. Lebih-lebih ketika ia menyarankan agar Djaja tidak memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan ahli sebelumnya, yang menyatakan bahwa Mirna mati karena sianida. Alasan Binsar adalah Djaja dan para ahli tersebut berasal dari perguruan tinggi yang sama dengan Djaja. Sudah tentu ilmunya sama karena buku yang dibaca juga sama.

Suasana sidang seperti itulah yang dikritik oleh mantan hakim Agung, Djoko Sarwoko. Dalam penilaian Djoko, pertanyaan hakim sudah menjurus  memengaruhi ahli. “Ini tidak sehat”, ujarnya kepada TV one.

Dalam penilaian Aliansi Advokat Muda Indonesia (AAMI) dan Perlindungan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), sikap tersebut bukan hanya dilakukan Binsar. Tiga hakim yang mengadili Jessica malahan dinilai tidak adil oleh AAMI dan PBHI sehingga melaporkan tiga hakim tersebut ke Komisi Yudisial (KY). Menurut mereka tindakan hakim dalam persidangan sangat kentara pro JPU.

Contohnya dalam persidangan aquo, hakim menghalangi terdakwa melakukan simulasi kopi, tapi di lain pihak hakim hakim memberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada JPU untuk melakukan pembuktian," ujar Rizky, ketua AAMI, di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta Pusat sebagaimana diberitakan liputan 6 com.

Kondisi ini menunjukkan adanya peperangan dalam batin para hakim. Bukan mustahil mereka malahan bingung sendiri. Di satu sisi sudah terlanjur apriori, menentukan sikap yang sama dengan JPU. Tetapi, di sisi lain bukti yang didakwakan belum kuat.  JPU sendiri bahkan mengirimkan sinyal keraguan mereka secara halus kepada hakim melalui rumusan tuntutan yang bersilangan dengan dakwaan.

Harapan publik, sikap netral hakim harus dimunculkan saat menilai semua alat bukti (keterangan para saksi, keterangan ahli dan fakta-akta persidangan). Panduannya adalah ketentuan Pasal 183 KUHAP. Putusan yang diambil hakim harus didasarkan pada setidaknya dua alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat bukti tersebut majelis memeroleh keyakinan bahwa tindak pidana pembunuhan Mirna benar-benar terjadi dan terdakwa Jessicalah yang bersalah melakukannya.

Jika tidak demikian, hakim tak perlu memaksakan diri menghukum Jessica. Apa yang disarankan oleh Bagir Manan dan beberapa ahli hukum lain perlu dipertimbangkan sebagaimana diperintahkan oleh ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Pada titik ini, tahap musyawarah anggota mejelis hakim menjadi faktor kunci. Masa depan Jessica ditentukan oleh tiga orang hakim. Posisi mereka mirip Tuhan si penentu nasib. Dengan demikian, jika meerka salah menilai dan memaknai alat bukti, maka putusan yang diambil pasti salah. Dan ini, bisa berakibat fatal. Bukan saja memburamkan masa depan Jessica, tetapi juga memburamkan nalar dan nurani majelis hakim, serta masa depan keadilan.


Majelis hakim perlu ingat bahwa meninggalnya Mirna secara tidak wajar membuat banyak orang berduka. Lebih-lebih keluarganya. Tetapi, jangan sampai duka tersebut membuat hakim bingung, lalu menghukum orang yang hadir pada waktu dan temat yang salah, sekalipun ia tidak terbukti bersalah. Majelis hakim perlu tetap ingat adagium yang mengatakan lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menguhukum satu orang yang benar. *** (arsip)

Tidak ada komentar: