Demo 4/11/2016 (http://internasional.kontan.co.id/) |
Begitu banyak orang yang
tertipu pada demo 4/11/2016, termasuk saya dalam artikel berjudul Mengadili Ahok atau Buni Yani?
Pernyataan Ahok yang dinilai menista Qur’an dan ulama dikira faktor dasar
pendorong timbulnya demo, yang menurut Amien Rais merupakan demo parlemen
jalanan paling akbar sepanjang sejarah RI.
Para penganut pandangan ini,
tak mau kompromi. Kendati mereka bilang bahwa Ahok harus diproses hukum, tapi
yang dikehendaki sebetulnya bukan itu. Mereka ingin Ahok langsung ditangkap dan
dipenjara. Itulah yang mereka maksud dengan proses hukum yang terus diteriakkan
sebelum, pada saat, dan sesudah demo.
Yang lain menduga bahwa
postingan Buni Yani yang menghilangkan kata “pakai” pada pernyataan Ahok
merupakan “kompor” pemantik api amarah. Menurut pandangan ini, jika Buni Yani
tidak latah memosting potongan video dengan komentar provokatif, amarah massa
tak akan terjadi. Buktinya, sejak postingan Buni Yani tanggal 6-10-2016 itulah
muncul gelombang amarah yang menuntut Ahok ditangkap dan dibui. Sembilan hari
sebelumnya, sejak video pidato itu diposting oleh Pemprov DKI tanggal 27
September tak ada yang protes. Juga beritanya di media cetak tak ada yang
protes.
Perang opini pun terus muncul.
Yang pro demo bersiteguh, Buni Yani tidak salah. Yang salah adalah Ahok. Kalau
Ahok tidak menyebutkan ayat yang dinilai menista Qur’an dan ulama, mustahil
postingan dan komentar provokasi Buni Yani muncul. Lagi pula Buni Yani tidak
memotong video. Ia hanya memosting ulang apa yang di-copy-nya dari akun lain. Itu pun sudah diakuinya salah, kemudian
minta maaf.
Entah disadari atau tidak, atau
puran-pura tidak sadar, semua pandangan itu keliru. Tidak menyentuh pesoalan
dasar. Yang diulek-ulek, diutak-atik, hanya gejala. Yang diproses secara hukum
hanya letupan di permukaan. Orang yang dijerat hanya alat.
Kacaunya, banyak di antaranya
yang diperalat, murni alat, ada yang memeralat, ada yang saling memeralat, dan
ada juga yang selain memeralat sekaligus menjadi pemain, baik untuk kepentingan
diri sendiri maupun sekaligus dengan kelompoknya.
Oleh sebab itu, seadil apa pun
proses hukum tetap hanya sebatas permukaan. Ahok mau dihukum bebas atau penjara
lima tahun pun, atau Buni Yani dibui dengan delik pembohongan publik atau
pencemaran nama baik, para perusuh dengan delik perusakan dan penganiayaan,
para penjarah mini market dengan delik pencurian, Ahmad Dhani dengan delik
penghinaan kepala negara, semua bukanlah solusi. Masih terbatas pada
pembersihan permukaan. Bibit persoalan dasar belum tersentuh. Ia masih
sehat-sehat, segar bugar, bahkan secara diam-diam terus berkembang, yang pada
saat lain bisa meledak. Tidak percaya? Mari kita tilik satu persatu.
Rencana Makar Yang Gagal
Tuntutan massa terhadap
Ahok, bukan target yang sesungguhnya.
Dugaan penistaan Qur’an dan ulama, hanyalah pintu masuk untuk mengegolkan
agenda tersembunyi. Target minimalnya memang Ahok agar ditangkap dan dibui. Bila
hal ini terpenuhi, maka target antara (intermediate)
tercapai. Artinya Ahok terganjal menjadi cagub DKI pada Pilpres 2017. Tapi ini,
sekali lagi belum merupakan target yang sesungguhnya.
Jika terget itu gagal, maka
target berikutnya ialah melengserkan Presiden Jokowi. Ini pun bukan target
akhir. Masih merupakan target intermediate.
Isi orasi Fahri Hamzah (FH) pada saat demo merupakan bukti atas rencana
tersebut. Ini sudah tercatat pada berita-berita di media cetak, terekam di
media on line dan youtube.
Mengapa harus dilengserkan? Menurut
FH, Jokowi telah melakukan pelanggaran berkali-kali. Tidak memberikan rasa
nyaman kepada umat Islam, menghina ulama, mencaci maki simbol-simbol Islam,
membiarkan orang-orang non Muslim menghina simbol-simbol agama kita (Islam, pen.), dan --mengutip Fadli Zon--
melanggar hukum. Maka kalau saat ini umat bangkit, sudah benar, teriaknya dari
mobil para pemimpin demo.
Usai menyebutkan
pelanggaran-pelanggaran Jokowi, FH membeberkan bagaimana cara menjatuhkan
Presiden. Pertama, secara legal melalui parlemen ruangan, dan kedua, melalui
parlemen jalanan. Namun, kedua ruangan itu tersambung. Oleh sebab itu, jika
saat ini tidak diberi kesempatan menemui Presiden, maka gedung parlemen harus
dibuka kepada rakyat, serunya berapi-api.
Syukur bahwa upaya massa
memasuki gedung DPR pada malam hari berhasil dicegah oleh petugas Polisi dan
ketua DPR/MPR. Jika tidak, maka harapan mereka mengulang peristiwa 1998 ketika
melengserkan Presiden Suharto mungkin terjadi kepada Jokowi.
Keinginan menjungkalkan Jokowi
tampaknya sudah lama dipendam. Boleh jadi bukan hanya rencana FH. Tetapi rencana
bersama dengan para sahabat yang seiya-sekata dengannya plus para tokoh yang
tergabung dalam beberapa partai Politik, rival Jokowi saat Pilpres 2014, dan
rival Ahok pada Pilkada DKI 2017.
Mungkin sebagai test case, FH disodorkan atau
menyodorkan diri terang-terangan tampil di depan publik karena dipandang lebih
pas mengingat dendam politiknya begitu mendalam kepada Jokowi. Hal ini bisa
ditelisik dengan mencermati sikap dan responnya terhadap semua kebijakan Jokowi
sejak terpilih menjadi presiden RI pada Pilpres 2014. Tak satu pun pernyataan
Fahri Hamzah yang sifatnya mengakui dan mendukung kebijakan Jokowi.
Apapun yang dilakukan Jokowi
semua salah. Cacat. Mulai dari anggota Kebinet Kerja yang disebut Fahri tak
berkelas, sampai pada kebijakan Jokowi selama dua tahun menjabat Presiden, tak
satupun yang dinilainya tepat. Sama persis dengan sikap dan penilaian sahabat
kentalnya Fadli Zon, Habib Rizieq, Ahmad Dhani, Amien Rais, dan sejumlah tokoh
di balik demo 4/11. (bisa dibaca di sini)
Lucunya, semua yang dinilainya
salah dan pelanggaran Presiden tidak dibahas di DPR. Di jalan raya dia teriak
Presiden telah melakukan pelanggaran berkali-kali, tapi dalam forum resmi DPR
tak satupun dia ungkap untuk dibahas. Kepada demontran dia menjelaskan cara
menjatuhkan Presiden secara legal, tetapi dalam forum legal DPR tidak dia
usulkan secara legal menurut prosedur legal.
Memanfaatkan Psikologi Massa
Mengapa hal itu tidak dia
lakukan? Ada dua sebab. Pertama,
kesalahan dan pelanggaran Presiden Jokowi yang digosipkannya kepada demonstran,
hanyalah isapan jempol. Tidak nyata dan tidak ada bukti. Kedua, karena tidak ada bukti, maka sekalipun mulutnya berbuih-buih
mengusulkan di forum DPR, tak bakalan direspon. Ditolak. Itu sangat dpahami
oleh FH.
Tapi FH tidak mau menyerah. Tipenya
petarung. Ia juga cerdik. Akalnya panjang dan berliku. Untuk mengegolkan
hasratnya menjatuhkan Presiden, ia dan konco-konconya memanfaatkan momentum
kasus Ahok. Ia sangat sadar bahwa psikologi massa beda dengan DPR. DPR tidak
selalu gegabah dan lebih kritis. Itulah sebabnya ia menghindar membicarakan apa
yang dianggapnya pelanggaran Jokowi dalam forum DPR. Ia tidak mau dipermalukan
oleh rekan-rekannya bila mereka meminta bukti.
Massa tidak begitu. Dalam
kerumunan, massa kerap kehilangan kontrol diri dan daya kritis karena mereka
telah melebur menjadi anonim. Dalam keadaan seperti itu, massa mudah tersulut. Jika
emosi massa bisa “dibakar”, maka dengan mudah bisa digiring ke arah yang
dikehendaki. Inilah kira-kira yang ada dalam benak FH dan kawan-kawannya saat
demo.
Sialnya, apa yang diharapkannya
dengan rumus “jika-maka”, ternyata buntu. Strategi polisi, dukungan TNI, dan
kemampuan Ketua DPR dan MPR membaca “arah angin” menjadi anti tesis bagi FH.
Sampai di sini skor 0 : 1 untuk
FH. Upaya makar gagal dan Presiden Jokowi masih menjadi Presiden Republik
Indonesia. *** (arsip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar