Selasa, 22 November 2016

Agenda Rahasia di Belakang Demo 4/11 (Bagian-1)

Demo 4/11/2016 (http://internasional.kontan.co.id/)

Begitu banyak orang yang tertipu pada demo 4/11/2016, termasuk saya dalam artikel berjudul Mengadili Ahok atau Buni Yani? Pernyataan Ahok yang dinilai menista Qur’an dan ulama dikira faktor dasar pendorong timbulnya demo, yang menurut Amien Rais merupakan demo parlemen jalanan paling akbar sepanjang sejarah RI.
Para penganut pandangan ini, tak mau kompromi. Kendati mereka bilang bahwa Ahok harus diproses hukum, tapi yang dikehendaki sebetulnya bukan itu. Mereka ingin Ahok langsung ditangkap dan dipenjara. Itulah yang mereka maksud dengan proses hukum yang terus diteriakkan sebelum, pada saat, dan sesudah demo.
Yang lain menduga bahwa postingan Buni Yani yang menghilangkan kata “pakai” pada pernyataan Ahok merupakan “kompor” pemantik api amarah. Menurut pandangan ini, jika Buni Yani tidak latah memosting potongan video dengan komentar provokatif, amarah massa tak akan terjadi. Buktinya, sejak postingan Buni Yani tanggal 6-10-2016 itulah muncul gelombang amarah yang menuntut Ahok ditangkap dan dibui. Sembilan hari sebelumnya, sejak video pidato itu diposting oleh Pemprov DKI tanggal 27 September tak ada yang protes. Juga beritanya di media cetak tak ada yang protes.

Perang opini pun terus muncul. Yang pro demo bersiteguh, Buni Yani tidak salah. Yang salah adalah Ahok. Kalau Ahok tidak menyebutkan ayat yang dinilai menista Qur’an dan ulama, mustahil postingan dan komentar provokasi Buni Yani muncul. Lagi pula Buni Yani tidak memotong video. Ia hanya memosting ulang apa yang di-copy-nya dari akun lain. Itu pun sudah diakuinya salah, kemudian minta maaf.
Entah disadari atau tidak, atau puran-pura tidak sadar, semua pandangan itu keliru. Tidak menyentuh pesoalan dasar. Yang diulek-ulek, diutak-atik, hanya gejala. Yang diproses secara hukum hanya letupan di permukaan. Orang yang dijerat hanya alat.
Kacaunya, banyak di antaranya yang diperalat, murni alat, ada yang memeralat, ada yang saling memeralat, dan ada juga yang selain memeralat sekaligus menjadi pemain, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun sekaligus dengan kelompoknya.
Oleh sebab itu, seadil apa pun proses hukum tetap hanya sebatas permukaan. Ahok mau dihukum bebas atau penjara lima tahun pun, atau Buni Yani dibui dengan delik pembohongan publik atau pencemaran nama baik, para perusuh dengan delik perusakan dan penganiayaan, para penjarah mini market dengan delik pencurian, Ahmad Dhani dengan delik penghinaan kepala negara, semua bukanlah solusi. Masih terbatas pada pembersihan permukaan. Bibit persoalan dasar belum tersentuh. Ia masih sehat-sehat, segar bugar, bahkan secara diam-diam terus berkembang, yang pada saat lain bisa meledak. Tidak percaya? Mari kita tilik satu persatu.
Rencana Makar Yang Gagal
Tuntutan massa terhadap Ahok,  bukan target yang sesungguhnya. Dugaan penistaan Qur’an dan ulama, hanyalah pintu masuk untuk mengegolkan agenda tersembunyi. Target minimalnya memang Ahok agar ditangkap dan dibui. Bila hal ini terpenuhi, maka target antara (intermediate) tercapai. Artinya Ahok terganjal menjadi cagub DKI pada Pilpres 2017. Tapi ini, sekali lagi belum merupakan target yang sesungguhnya.
Jika terget itu gagal, maka target berikutnya ialah melengserkan Presiden Jokowi. Ini pun bukan target akhir. Masih merupakan target intermediate. Isi orasi Fahri Hamzah (FH) pada saat demo merupakan bukti atas rencana tersebut. Ini sudah tercatat pada berita-berita di media cetak, terekam di media on line dan youtube.
Mengapa harus dilengserkan? Menurut FH, Jokowi telah melakukan pelanggaran berkali-kali. Tidak memberikan rasa nyaman kepada umat Islam, menghina ulama, mencaci maki simbol-simbol Islam, membiarkan orang-orang non Muslim menghina simbol-simbol agama kita (Islam, pen.), dan --mengutip Fadli Zon-- melanggar hukum. Maka kalau saat ini umat bangkit, sudah benar, teriaknya dari mobil para pemimpin demo.
Usai menyebutkan pelanggaran-pelanggaran Jokowi, FH membeberkan bagaimana cara menjatuhkan Presiden. Pertama, secara legal melalui parlemen ruangan, dan kedua, melalui parlemen jalanan. Namun, kedua ruangan itu tersambung. Oleh sebab itu, jika saat ini tidak diberi kesempatan menemui Presiden, maka gedung parlemen harus dibuka kepada rakyat, serunya berapi-api.
Syukur bahwa upaya massa memasuki gedung DPR pada malam hari berhasil dicegah oleh petugas Polisi dan ketua DPR/MPR. Jika tidak, maka harapan mereka mengulang peristiwa 1998 ketika melengserkan Presiden Suharto mungkin terjadi kepada Jokowi.
Keinginan menjungkalkan Jokowi tampaknya sudah lama dipendam. Boleh jadi bukan hanya rencana FH. Tetapi rencana bersama dengan para sahabat yang seiya-sekata dengannya plus para tokoh yang tergabung dalam beberapa partai Politik, rival Jokowi saat Pilpres 2014, dan rival Ahok pada Pilkada DKI 2017.
Mungkin sebagai test case, FH disodorkan atau menyodorkan diri terang-terangan tampil di depan publik karena dipandang lebih pas mengingat dendam politiknya begitu mendalam kepada Jokowi. Hal ini bisa ditelisik dengan mencermati sikap dan responnya terhadap semua kebijakan Jokowi sejak terpilih menjadi presiden RI pada Pilpres 2014. Tak satu pun pernyataan Fahri Hamzah yang sifatnya mengakui dan mendukung kebijakan Jokowi.
Apapun yang dilakukan Jokowi semua salah. Cacat. Mulai dari anggota Kebinet Kerja yang disebut Fahri tak berkelas, sampai pada kebijakan Jokowi selama dua tahun menjabat Presiden, tak satupun yang dinilainya tepat. Sama persis dengan sikap dan penilaian sahabat kentalnya Fadli Zon, Habib Rizieq, Ahmad Dhani, Amien Rais, dan sejumlah tokoh di balik demo 4/11. (bisa dibaca di sini)
Lucunya, semua yang dinilainya salah dan pelanggaran Presiden tidak dibahas di DPR. Di jalan raya dia teriak Presiden telah melakukan pelanggaran berkali-kali, tapi dalam forum resmi DPR tak satupun dia ungkap untuk dibahas. Kepada demontran dia menjelaskan cara menjatuhkan Presiden secara legal, tetapi dalam forum legal DPR tidak dia usulkan secara legal menurut prosedur legal.
Memanfaatkan Psikologi Massa
Mengapa hal itu tidak dia lakukan? Ada dua sebab. Pertama, kesalahan dan pelanggaran Presiden Jokowi yang digosipkannya kepada demonstran, hanyalah isapan jempol. Tidak nyata dan tidak ada bukti. Kedua, karena tidak ada bukti, maka sekalipun mulutnya berbuih-buih mengusulkan di forum DPR, tak bakalan direspon. Ditolak. Itu sangat dpahami oleh FH.
Tapi FH tidak mau menyerah. Tipenya petarung. Ia juga cerdik. Akalnya panjang dan berliku. Untuk mengegolkan hasratnya menjatuhkan Presiden, ia dan konco-konconya memanfaatkan momentum kasus Ahok. Ia sangat sadar bahwa psikologi massa beda dengan DPR. DPR tidak selalu gegabah dan lebih kritis. Itulah sebabnya ia menghindar membicarakan apa yang dianggapnya pelanggaran Jokowi dalam forum DPR. Ia tidak mau dipermalukan oleh rekan-rekannya bila mereka meminta bukti.
Massa tidak begitu. Dalam kerumunan, massa kerap kehilangan kontrol diri dan daya kritis karena mereka telah melebur menjadi anonim. Dalam keadaan seperti itu, massa mudah tersulut. Jika emosi massa bisa “dibakar”, maka dengan mudah bisa digiring ke arah yang dikehendaki. Inilah kira-kira yang ada dalam benak FH dan kawan-kawannya saat demo.
Sialnya, apa yang diharapkannya dengan rumus “jika-maka”, ternyata buntu. Strategi polisi, dukungan TNI, dan kemampuan Ketua DPR dan MPR membaca “arah angin” menjadi anti tesis bagi FH.

Sampai di sini skor 0 : 1 untuk FH. Upaya makar gagal dan Presiden Jokowi masih menjadi Presiden Republik Indonesia. *** (arsip)

Tidak ada komentar: