Perspektif 2 titik (http://anakbontot.com/) |
Setelah Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) ditetapkan menjadi tersangka, begitu banyak yang bertepuk tangan suka
cita karena senang. Mirip tentara Iraq
bersama pasukan Kurdi yang baru pulang setelah merebut sebagian Kota Mosul dari
ISIS. Salah satunya adalah Marissa Haque. “Allahu Akbar, sujud syukurku Pak
Ahok tersangka!” kicaunya di akun twitternya di @ikangfawzi @Haque_Marissa @ChikiFawzi. Bagi FPI dan sebagian
anggota MUI, Fahri hamzah, Fadli Zon, Ahmad Dhani, Amien Rais, Habib Rizieq,
Yusril Ihza Mahendra, AA Gym, dan sejumlah peserta demo 4/11, plus pemilik
dan/atau pengagas demo mungkin bukan cuma sujud syukur, melainkan berpesta
sambil joget dan bernyanyi sambil sesekali meneguk minuman penyegar badan
dibawah koordinasi Dhani sebagai musisi.
Itu yang tampak. Di dalam, gradasi
kesenangan masing-masing individu tentu tidak sama. Yang paling senang barangkali
hanya pemilik atau pengagas demo, atau pemilik agenda di belakang demo. Sedangkan
lainnya sekedar penikmat. Disebut begitu karena tidak semua penentang Ahok dan
pendemo berkepentingan sama. Banyak di antaranya yang tidak tahu menahu apa
sesungguhnya yang dikejar. Yang mereka tahu, Ahok harus diproses secara
dihukum.
Para penggagas pun tidak
sekepentingan. Masing-masing punya agenda. Ada yang terbatas pada kasus Ahok,
ada yang menggunakan kasus Ahok sebagai modal politik, ada yang sekedar
menunjukkan eksistensi diri, dan macam-macam lagi. Namun, mereka dipersatukan
oleh rasa senang. Bahagia.
Salah? Tentu tidak. Siapa pun
berhak dan boleh senang karena usahanya berhasil. Ini tidak harus terkait
dengan aspek manfaatan bagi masyarakat umumnya, apalagi bangsa dan negara.
Namun, dari sekian ratus ribu bahkan jutaan yang senang, pihak yang paling
bahagia, yang tak tertandingi oleh Habib Rizieq atau Fahri Hamzah dan Fadli
Zon, mungkin hanya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Beliaulah yang paling
diuntungkan pada persitiwa demo 4/11 yang akhirnya “memaksa” polisi menetapkan
Ahok menjadi tersangka.
Bahwa SBY disebut-sebut sebagai
penunggang demo, atau ditunggangi oleh FPI dan MUI atau Fahri hamzah, Fadli
Zon, Ahmad Dhani, Amien Rais, Habib Rizieq, Yusril Ihza Mahendra, AA Ggym, atau
malahan saling menunggangi karena saling menukar kepentingan, tak seorang pun yang
tahu pasti selain SBY dan mereka sendiri. .
Inilah yang belum terungkap secara
jelas kepada publik oleh media. Penyebabnya, bisa macam-macam. Mungkin karena tersedotnya
perhatian pada pemberitaan status Ahok sebagai tersangka, atau pada penghadangan
Ahok dan Djarot oleh orang-orang tertentu setiap blusukan di daerah pemukiman
warga dalam rangka kampanye, atau mungkin pada safari politik Jokowi di
berbagai lembaga dan organisasi keagamaan guna memulihkan suasana.
Kendati begitu, pusat publik
selalu tertuju kepada Ahok. Bukan kepada SBY sebagai pihak yang paling
diuntungkan, atau kepada Fahri Hamzah yang sangat bersemangat menghasut massa
untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Dugaan saya, publik belum sadar
bahwa Ahok, bahkan para pendemo sekalipun hanyalah instrumen yang sengaja
dibenturkan untuk mencapai sebuah atau beraneka sasaran para pengagas demo. Mirip
permainan biliar. Para pemain memasukkan bola tidak selalu langsung. Kerap
menembak bola lain lebih dahulu atau membenturkannya pada dinding tertentu untuk
memasukkan pada lobang sasaran.
Apa itu? Nanti akan dibahas pada
tulisan kedua. Mari kita tilik dulu bagian permukaan, yang mengantarkan Ahok
menjadi tersangka.
Ada tiga hal yang terkait
dengan Ahok. Pertama, diduga menista
Qur’an dan ulama, kerap disebut menista agama Islam. Kedua, tindakan atau perbuatan menista dalam pernyataannya di
kepualau Seribu. Ketiga, yang
dinista atau dihina, dalam hal ini Qur’an
dan ulama.
Apakah Ahok menista?
Bisa ya bisa tidak. Tergantung
pada alat ukur yang dipakai mengukur, siapa yang mengukur, dan tujuan pengukur.
Bila alat ukurnya hukum dan diukur oleh penegah hukum dengan tujuan menegakkan
hukum (keadilan), maka jawabnya bisa ya, bisa tidak. Faktor penentunya banyak.
Di antaranya, fakta tindakan, pernyataan (actus
reus), keterangan saksi dan ahli yang benar-benar objektif tanpa diberi
muatan politik, konteks atau suasana ketika pernyataan itu diucapkan, yang
menggambarkan ada tindaknya hasrat, keinginan, atau semangat menista (mens rea). Hal terakhir ini perlu
mendapat tekanan karena fakta menunjukkan bahwa setiap ucapan atau pernyataan
yang dilontarkan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun selalu ada konteks.
Bila unsur-unsur itu terpenuhi,
maka Ahok jelas menista. Misalnya, pernyataan itu dikemukakan sendiri atau
bersama orang lain dengan teriak-teriak dengan raut muka marah, ekspresi
bermusuhan, membenci. Atau dikemukakan dengan nada menghasut agar orang
menjauhi atau memusuhi ajaran Al Qur’an dan ulama seperti dilakukan Ahmad Dhani
ketika menyamakan Presiden Jokowi dengan binatang atau Fahri Hamzah yang
mengasut rakyat untuk menjatuhkan Jokowi.
Sebaliknya, jika tak terpenuhi,
maka hakim mustahil memvonis Ahok menista. Hal ini dapat diketahui dengan
mencermati konteks pembicaraan, suasana forum, respon para pendengar setelah
mendengarkan kalimat-kalimat yang dipermasalahkan, cara Ahok menyampaikan
pernyataan, raut mukanya, dan nada bicaranya. Hal ini bisa diperkuat dengan
kesaksian orang yang hadir berdasarkan fakta.
Namun, bila alat ukurnya bukan
hukum, maka bisa dipastikan Ahok salah. Secara formal bisa saja memakai
instrumen hukum oleh penegak hukum, tetapi ketika proses hukum itu dihimpit,
ditekan oleh kepentingan politik, tokoh berpengaruh yang anti Ahok, tekanan
massa, maka hasilnya bisa jauh dari keadilan hukum. Penentu keputusan hakim
bukan lagi kepentingan hukum. Tapi kepentingan di luar hukum. Lebih parah lagi
bila, ya, hanya bila hakim yang mengadili Ahok ada yang memosisikan diri sama
dengan anti Ahok.
Jika hal itu yang terjadi, maka
bukti apa pun dan penjelasan apa pun yang disodorkan Ahok cenderung dimaknai menurut
versi anti Ahok. Pada kasus Jessica Kumala Wongso, gejala tersebut sangat
kentara. Apa pun yang dikatakan Jessica, gerak-geriknya, responnya terhadap apa
pun, raut wajahnya dalam berbagai situasi selalu dimaknai sebagai tanda bahwa
ia pembunuh Mirna. Tanda-tanda serupa dalam kasus Ahok pun sudah muncul dalam
gelar perkara. Ketika bentrok pendapat terjadi, maka yang dimenangkan adalah
pendapat yang menyatakan Ahok bersalah.
Benar bahwa apa yang terjadi
pada gelar perkara belum final. Yang final adalah putusan pengadilan. Mengingat
begitu gentingnya suasana, penyidik menilai akan sangat beresiko bila kasus itu
dihentikan pada tahap penyelidikan. Lebih baik diserahkan kepada lembaga
pengadilan terbuka agar tensi amarah bisa turun sehingga keputusan hakim kelak
dapat ditrima dengan kepala dingin.
Pertanyaannya, apakah
polarisasi itu tidak terjadi di pengadilan? Secara logika mustahil! Bila kembali
dihadirkan pada persidangan, besar kemungkinan mereka tetap berkata hal yang
sama. Pertentangan pendapat pada gelar perkara berpindah di pengadilan. Inilah
yang dikuatirkan publik. Bila para pihak itu tetap bersiteguh pada
pendiriannya, lebih-lebih kalau hakim terbawa arus, maka proses dan putusan pengadilan
terhadap Ahok bisa diduga. Proses panjang dengan puluhan saksi dan ahli seolah
jadi mainan untuk melegalkan tuntutan para pendemo.
Keadaannya memang bisa berbalik.
Terutama jika Ahok mampu membuktikan serta meyakinkan hakim bahwa apa yang
dituduhkan kepadanya tidak benar. Ini pun perlu didukung oleh hakim yang benar-benar
mau bardiri di atas landasan hukum, logika hukum, akal sehat, dengan
memertimbangkan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum guna menegakkan supermasi
hukum. Artinya, hakim mau dan mampu melepaskan diri dari pengaruh apa pun dari
luar koridor hukum.
Apakah Qur’an dan ulama ternista?
Bagi saya, Al Qur’an sebagai
kitab suci tidak mungkin nista atau hina. Kendari orang sedunia menghina atau
menista Al Qur’an, ia tak pernah berubah. Ia tetap suci. Ajaran apa pun yang
ada di dalamnya tak pernah sirna, atau nilainya berkurang hanya gara-gara
adanya orang jahil yang menghina atau menista. Kalau ada yang bilang bahwa
Qur’an nista setelah dinista, jelas keliru. Yang lebih masuk akal ialah bahwa
pemilik kitab suci Al Qur’an merasa tersingung, merasa dinista.
Demikian pula para ulama. Eksistensi
para ulama sama sekali tidak ditentukan oleh kata-kata hinaan atau nistaan dari
siapa pun. Contohnya adalah Presiden Jokowi. Kendati Ahmad Dhani berkali-kali
menyebut dan menyamakan beliau dengan binatang tertentu, Presiden Jokowi tetap
tidak berubah wujud atau sifat seperti sebutan Dhani. Presiden Jokowi tetap
jadi Presiden RI, terhormat, tidak hina, tidak nista.
Yang nista dan hina justru
Ahmad Dhani sendiri. Ia gagal menggunakan mulutnya secara terhormat atau
suaranya yang merdu untuk menghibur orang susah atau membangun sikap positip.
Ia gagal menyebarkan energi positip bagi dirinya dan publik sebagaimana
layaknya seniman. Gagal memilih lirik yang sesuai dengan irama langkah nasional.
Ia hanya mampu membungkus selera rendahnya terhadap Presidennya dengan
pelintiran kata.
Bahwa Presiden Jokowi, ulama,
umat Islam, atau siapa pun tersinggung bila dihina, tentu saja ya. Itu wajar,
normal, dan manusiawi. Tetapi rasa tersinggung bukan kewajiban atau keharusan.
Sifatnya pilihan. Ketika mengizinkan diri tersinggung, maka rasa sakit hati,
terlukai, teraniaya, akan muncul. Bila tidak, maka semua rasa itu mustahil
muncul.
Respon terhadap rasa
tersinggung pun, begitu. Tidak wajib diimbali dengan amarah atau demonstrasi
besar-besaran. Kesalahan karena ketidak-sengajaan tidak wajib dibalas dengan
amarah. Jauh lebih terhormat dan mulia jika ketersinggungan diimbali dengan
pemberian maaf seperti kerap diajarkan oleh para ulama dan pemimpin agama pada
umumnya. Apalagi karena pernyataan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk
menghina atau menista Qur’an dan ulama seperti berkali-kali dikemukakan Ahok di
berbagai kesempatan sebelum dan sesudah demo.
Tampaknya, inilah yang mendasari
sikap banyak ulama, kiyai, ustadz, pimpinan ormas Islam yang tak ikut demo,
akademisi, politisi, maupun awam untuk tidak mengizinkan dirinya tersinggung
atau mengimbali Ahok dengan amarah. Alasannya, adalah sebagai berikut:
Pertama, sebagai petahana Gubernur DKI yang turut bersaing pada
Pilkada 2017 sangat tidak logis kalau beliau menyebar kebencian, permusuhan kepada
calon pemilih yang sebagian besar beragama Islam. Kedua, warga negara belatar belakang minoritas ganda, mustahil
beliau mencari gara-gara dengan warga negara yang mayoritas beragama Islam. Ketiga, ibu nangkatnya sendiri selama
menempuh pendidikan di Jakarta adalah seorang ibu yang beragama Islam
(almarhum) Misribu Andi Baso Amier binti Acca asal Bugis.
Keempat, kebijakannya mendukung pembangunan berbagai fasilitas dan
kegiatan Islam selama menjadi Bupati di Belitung dan Gubernur DKI menunjukkan
bahwa beliau tidak pernah memiliki niat mendiskreditkan Islam.
Pertanyaannya, apakah
fakta-fakta ini perlu dipertimbangkan hakim dalam pengadilan Ahok? Seharusnya
ya. Putusan yang didasarkan pada fakta akan membantu hakim mengambil keputusan
yang bukan saja adil, tetapi bermanfaat dan memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat. MUI pun sebagai personifikasi para ulama yang dengan jiwa besar dan
iman tingginya, bisa menolong hakim dalam mengambil keputusan yang adil dengan
menunjukkan sisi-sisi positip dari Ahok, bukan sisi gelapnya semata. Itu
sesungguhnya yang ditunggu publik dari MUI demi republik dalam wadah NKRI.*** (arsip)
Video dari artikel di atas ada di sini.
Video dari artikel di atas ada di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar