Selasa, 22 November 2016

Mengapa SBY Sangat Berkepentingan Dengan Kasus Ahok? (Bagian-1)

Perspektif 2 titik (http://anakbontot.com/)

Setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ditetapkan menjadi tersangka, begitu banyak yang bertepuk tangan suka cita karena senang. Mirip tentara  Iraq bersama pasukan Kurdi yang baru pulang setelah merebut sebagian Kota Mosul dari ISIS. Salah satunya adalah Marissa Haque. “Allahu Akbar, sujud syukurku Pak Ahok tersangka!” kicaunya di akun twitternya di @ikangfawzi @Haque_Marissa @ChikiFawzi. Bagi FPI dan sebagian anggota MUI, Fahri hamzah, Fadli Zon, Ahmad Dhani, Amien Rais, Habib Rizieq, Yusril Ihza Mahendra, AA Gym, dan sejumlah peserta demo 4/11, plus pemilik dan/atau pengagas demo mungkin bukan cuma sujud syukur, melainkan berpesta sambil joget dan bernyanyi sambil sesekali meneguk minuman penyegar badan dibawah koordinasi Dhani sebagai musisi.
Itu yang tampak. Di dalam, gradasi kesenangan masing-masing individu tentu tidak sama. Yang paling senang barangkali hanya pemilik atau pengagas demo, atau pemilik agenda di belakang demo. Sedangkan lainnya sekedar penikmat. Disebut begitu karena tidak semua penentang Ahok dan pendemo berkepentingan sama. Banyak di antaranya yang tidak tahu menahu apa sesungguhnya yang dikejar. Yang mereka tahu, Ahok harus diproses secara dihukum.

Para penggagas pun tidak sekepentingan. Masing-masing punya agenda. Ada yang terbatas pada kasus Ahok, ada yang menggunakan kasus Ahok sebagai modal politik, ada yang sekedar menunjukkan eksistensi diri, dan macam-macam lagi. Namun, mereka dipersatukan oleh rasa senang. Bahagia.
Salah? Tentu tidak. Siapa pun berhak dan boleh senang karena usahanya berhasil. Ini tidak harus terkait dengan aspek manfaatan bagi masyarakat umumnya, apalagi bangsa dan negara. Namun, dari sekian ratus ribu bahkan jutaan yang senang, pihak yang paling bahagia, yang tak tertandingi oleh Habib Rizieq atau Fahri Hamzah dan Fadli Zon, mungkin hanya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Beliaulah yang paling diuntungkan pada persitiwa demo 4/11 yang akhirnya “memaksa” polisi menetapkan Ahok menjadi tersangka.
Bahwa SBY disebut-sebut sebagai penunggang demo, atau ditunggangi oleh FPI dan MUI atau Fahri hamzah, Fadli Zon, Ahmad Dhani, Amien Rais, Habib Rizieq, Yusril Ihza Mahendra, AA Ggym, atau malahan saling menunggangi karena saling menukar kepentingan, tak seorang pun yang tahu pasti selain SBY dan mereka sendiri. .
Inilah yang belum terungkap secara jelas kepada publik oleh media. Penyebabnya, bisa macam-macam. Mungkin karena tersedotnya perhatian pada pemberitaan status Ahok sebagai tersangka, atau pada penghadangan Ahok dan Djarot oleh orang-orang tertentu setiap blusukan di daerah pemukiman warga dalam rangka kampanye, atau mungkin pada safari politik Jokowi di berbagai lembaga dan organisasi keagamaan guna memulihkan suasana.
Kendati begitu, pusat publik selalu tertuju kepada Ahok. Bukan kepada SBY sebagai pihak yang paling diuntungkan, atau kepada Fahri Hamzah yang sangat bersemangat menghasut massa untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Dugaan saya, publik belum sadar bahwa Ahok, bahkan para pendemo sekalipun hanyalah instrumen yang sengaja dibenturkan untuk mencapai sebuah atau beraneka sasaran para pengagas demo. Mirip permainan biliar. Para pemain memasukkan bola tidak selalu langsung. Kerap menembak bola lain lebih dahulu atau membenturkannya pada dinding tertentu untuk memasukkan pada lobang sasaran.
Apa itu? Nanti akan dibahas pada tulisan kedua. Mari kita tilik dulu bagian permukaan, yang mengantarkan Ahok menjadi tersangka.
Ada tiga hal yang terkait dengan Ahok. Pertama, diduga menista Qur’an dan ulama, kerap disebut menista agama Islam. Kedua, tindakan atau perbuatan menista dalam pernyataannya di kepualau Seribu. Ketiga, yang dinista atau dihina, dalam hal ini Qur’an  dan ulama.
Apakah Ahok menista?
Bisa ya bisa tidak. Tergantung pada alat ukur yang dipakai mengukur, siapa yang mengukur, dan tujuan pengukur. Bila alat ukurnya hukum dan diukur oleh penegah hukum dengan tujuan menegakkan hukum (keadilan), maka jawabnya bisa ya, bisa tidak. Faktor penentunya banyak. Di antaranya, fakta tindakan, pernyataan (actus reus), keterangan saksi dan ahli yang benar-benar objektif tanpa diberi muatan politik, konteks atau suasana ketika pernyataan itu diucapkan, yang menggambarkan ada tindaknya hasrat, keinginan, atau semangat menista (mens rea). Hal terakhir ini perlu mendapat tekanan karena fakta menunjukkan bahwa setiap ucapan atau pernyataan yang dilontarkan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun selalu ada konteks.
Bila unsur-unsur itu terpenuhi, maka Ahok jelas menista. Misalnya, pernyataan itu dikemukakan sendiri atau bersama orang lain dengan teriak-teriak dengan raut muka marah, ekspresi bermusuhan, membenci. Atau dikemukakan dengan nada menghasut agar orang menjauhi atau memusuhi ajaran Al Qur’an dan ulama seperti dilakukan Ahmad Dhani ketika menyamakan Presiden Jokowi dengan binatang atau Fahri Hamzah yang mengasut rakyat untuk menjatuhkan Jokowi.
Sebaliknya, jika tak terpenuhi, maka hakim mustahil memvonis Ahok menista. Hal ini dapat diketahui dengan mencermati konteks pembicaraan, suasana forum, respon para pendengar setelah mendengarkan kalimat-kalimat yang dipermasalahkan, cara Ahok menyampaikan pernyataan, raut mukanya, dan nada bicaranya. Hal ini bisa diperkuat dengan kesaksian orang yang hadir berdasarkan fakta.
Namun, bila alat ukurnya bukan hukum, maka bisa dipastikan Ahok salah. Secara formal bisa saja memakai instrumen hukum oleh penegak hukum, tetapi ketika proses hukum itu dihimpit, ditekan oleh kepentingan politik, tokoh berpengaruh yang anti Ahok, tekanan massa, maka hasilnya bisa jauh dari keadilan hukum. Penentu keputusan hakim bukan lagi kepentingan hukum. Tapi kepentingan di luar hukum. Lebih parah lagi bila, ya, hanya bila hakim yang mengadili Ahok ada yang memosisikan diri sama dengan anti Ahok.
Jika hal itu yang terjadi, maka bukti apa pun dan penjelasan apa pun yang disodorkan Ahok cenderung dimaknai menurut versi anti Ahok. Pada kasus Jessica Kumala Wongso, gejala tersebut sangat kentara. Apa pun yang dikatakan Jessica, gerak-geriknya, responnya terhadap apa pun, raut wajahnya dalam berbagai situasi selalu dimaknai sebagai tanda bahwa ia pembunuh Mirna. Tanda-tanda serupa dalam kasus Ahok pun sudah muncul dalam gelar perkara. Ketika bentrok pendapat terjadi, maka yang dimenangkan adalah pendapat yang menyatakan Ahok bersalah.
Benar bahwa apa yang terjadi pada gelar perkara belum final. Yang final adalah putusan pengadilan. Mengingat begitu gentingnya suasana, penyidik menilai akan sangat beresiko bila kasus itu dihentikan pada tahap penyelidikan. Lebih baik diserahkan kepada lembaga pengadilan terbuka agar tensi amarah bisa turun sehingga keputusan hakim kelak dapat ditrima dengan kepala dingin.
Pertanyaannya, apakah polarisasi itu tidak terjadi di pengadilan? Secara logika mustahil! Bila kembali dihadirkan pada persidangan, besar kemungkinan mereka tetap berkata hal yang sama. Pertentangan pendapat pada gelar perkara berpindah di pengadilan. Inilah yang dikuatirkan publik. Bila para pihak itu tetap bersiteguh pada pendiriannya, lebih-lebih kalau hakim terbawa arus, maka proses dan putusan pengadilan terhadap Ahok bisa diduga. Proses panjang dengan puluhan saksi dan ahli seolah jadi mainan untuk melegalkan tuntutan para pendemo.
Keadaannya memang bisa berbalik. Terutama jika Ahok mampu membuktikan serta meyakinkan hakim bahwa apa yang dituduhkan kepadanya tidak benar. Ini pun perlu didukung oleh hakim yang benar-benar mau bardiri di atas landasan hukum, logika hukum, akal sehat, dengan memertimbangkan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum guna menegakkan supermasi hukum. Artinya, hakim mau dan mampu melepaskan diri dari pengaruh apa pun dari luar koridor hukum.
Apakah Qur’an dan ulama ternista?
Bagi saya, Al Qur’an sebagai kitab suci tidak mungkin nista atau hina. Kendari orang sedunia menghina atau menista Al Qur’an, ia tak pernah berubah. Ia tetap suci. Ajaran apa pun yang ada di dalamnya tak pernah sirna, atau nilainya berkurang hanya gara-gara adanya orang jahil yang menghina atau menista. Kalau ada yang bilang bahwa Qur’an nista setelah dinista, jelas keliru. Yang lebih masuk akal ialah bahwa pemilik kitab suci Al Qur’an merasa tersingung, merasa dinista.
Demikian pula para ulama. Eksistensi para ulama sama sekali tidak ditentukan oleh kata-kata hinaan atau nistaan dari siapa pun. Contohnya adalah Presiden Jokowi. Kendati Ahmad Dhani berkali-kali menyebut dan menyamakan beliau dengan binatang tertentu, Presiden Jokowi tetap tidak berubah wujud atau sifat seperti sebutan Dhani. Presiden Jokowi tetap jadi Presiden RI, terhormat, tidak hina, tidak nista.
Yang nista dan hina justru Ahmad Dhani sendiri. Ia gagal menggunakan mulutnya secara terhormat atau suaranya yang merdu untuk menghibur orang susah atau membangun sikap positip. Ia gagal menyebarkan energi positip bagi dirinya dan publik sebagaimana layaknya seniman. Gagal memilih lirik yang sesuai dengan irama langkah nasional. Ia hanya mampu membungkus selera rendahnya terhadap Presidennya dengan pelintiran kata.
Bahwa Presiden Jokowi, ulama, umat Islam, atau siapa pun tersinggung bila dihina, tentu saja ya. Itu wajar, normal, dan manusiawi. Tetapi rasa tersinggung bukan kewajiban atau keharusan. Sifatnya pilihan. Ketika mengizinkan diri tersinggung, maka rasa sakit hati, terlukai, teraniaya, akan muncul. Bila tidak, maka semua rasa itu mustahil muncul.
Respon terhadap rasa tersinggung pun, begitu. Tidak wajib diimbali dengan amarah atau demonstrasi besar-besaran. Kesalahan karena ketidak-sengajaan tidak wajib dibalas dengan amarah. Jauh lebih terhormat dan mulia jika ketersinggungan diimbali dengan pemberian maaf seperti kerap diajarkan oleh para ulama dan pemimpin agama pada umumnya. Apalagi karena pernyataan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghina atau menista Qur’an dan ulama seperti berkali-kali dikemukakan Ahok di berbagai kesempatan sebelum dan sesudah demo.
Tampaknya, inilah yang mendasari sikap banyak ulama, kiyai, ustadz, pimpinan ormas Islam yang tak ikut demo, akademisi, politisi, maupun awam untuk tidak mengizinkan dirinya tersinggung atau mengimbali Ahok dengan amarah. Alasannya, adalah sebagai berikut:
Pertama, sebagai petahana Gubernur DKI yang turut bersaing pada Pilkada 2017 sangat tidak logis kalau beliau menyebar kebencian, permusuhan kepada calon pemilih yang sebagian besar beragama Islam. Kedua, warga negara belatar belakang minoritas ganda, mustahil beliau mencari gara-gara dengan warga negara yang mayoritas beragama Islam. Ketiga, ibu nangkatnya sendiri selama menempuh pendidikan di Jakarta adalah seorang ibu yang beragama Islam (almarhum) Misribu Andi Baso Amier binti Acca asal Bugis.
Keempat, kebijakannya mendukung pembangunan berbagai fasilitas dan kegiatan Islam selama menjadi Bupati di Belitung dan Gubernur DKI menunjukkan bahwa beliau tidak pernah memiliki niat mendiskreditkan Islam.

Pertanyaannya, apakah fakta-fakta ini perlu dipertimbangkan hakim dalam pengadilan Ahok? Seharusnya ya. Putusan yang didasarkan pada fakta akan membantu hakim mengambil keputusan yang bukan saja adil, tetapi bermanfaat dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. MUI pun sebagai personifikasi para ulama yang dengan jiwa besar dan iman tingginya, bisa menolong hakim dalam mengambil keputusan yang adil dengan menunjukkan sisi-sisi positip dari Ahok, bukan sisi gelapnya semata. Itu sesungguhnya yang ditunggu publik dari MUI demi republik dalam wadah NKRI.*** (arsip)

Video dari artikel di atas ada di sini.

Tidak ada komentar: