Selasa, 05 Februari 2013

Memahami Otonomi Perguruan Tinggi



Oleh Yosafati Gulo

Belakangan ini, di sebuah kampus PTS  yang cukup dikenal di Indonesia sering melontarkan wacana dikotomistik bahwa urusan akademik adalah urusan rektor dan urusan non akademik adalah urusan yayasan. Pembina atau Pengurus Yayasan tak perlu mengintervensi urusan akademik karena hal itu merupakan kewenangan rektor. Wacana ini dilontarkan oleh pejabat struktural dan beberapa anggota pembina di yayasan tersebut.

Pertanyaannya apa yang dimaksudkan dengan urusan akademik dan non akademik? Apa benar bahwa semua hal yang berbau akademik adalah urusan rektor sehinga Yayasan atau Pembina atau Pengurus sama sekali tak punya kewenangan?

Mencegah diri terjerumus dalam generalisasi yang keliru, tulisan berikut berusaha mengemukakan ketentuan hukum yang mengatur tentang urusan akademik dan non akademik tersebut. Acuan bahasan adalah UU No 12 Tahun 2012 dan PP No 66 Tahun 2010 tentang perubahan PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelengaraan Pendidikan.

Otonomi Pengelolaan

Ada tujuh pasal dalam UU No 12 Tahun 2012 yang mengatur tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi (PT), yaitu Pasal 62 sampai pada Pasal 68. Pasal 62 menyebutkan bahwa perguruan tinggi (PT) memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Hal ini dilaksakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan PT, yang dilaksanakan secara mandiri berdasarkan Peraturan Menteri.

Konsep kunci dalam pasal itu ialah PT memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya. Otonomi dimaksud disyaratkan oleh tiga hal, kesesuaian dengan dasar PT, tujuan PT, serta kemampuan PT dalam melaksanakan otonomi. Asumsi di belakang konsp itu ialah bahwa hanyalah PT tertentu yang boleh melaksanakan otonomi, yaitu yang memenuhi tiga syarat di atas.

Terlepas dari setuju atau tidak, dalam bahasa negatif, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi nampaknya menegaskan bahwa tidak semua PT memiliki kemampuan dalam melaksanakan otonomi atau tidak semua PT dibolehkan melaksanakan otonomi bila tidak sesuai dengan dasar dan tujuan PT. Takaran yang dipakai untuk menilai hal itu adalah Peraturan menteri[1] tentang otonomi perguruan tinggi.Otonomi dimaksud (Pasal 64 ayat (1)) terdiri atas otonomi di bidang akademik dan bidang non akademik. 

Otonomi pengelolaan di bidang akademik meliputi penerapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma (lihat Pasal 64 ayat (2)), sedangkan otonomi di bidang non akademik meliputi penerapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana (Pasal 64 ayat (3)).

Syarat Otonomi               

Pemberian otonomi itu, tidak bersifat gebyah uyah atau pukul rata bagi semua PTN. Pasal 65 ayat (1) menegaskan, “Penyelenggaraan otonomi PT sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilan Pendidikan Tinggi yang bermutu.” PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan (lihat Pasal 65 ayat (2)).

Pertanyaannya, norma apa yang diterapkan oleh PTN secara mandiri dalam mengelola lembaganya? Pasal 68 menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan PT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah itulah norma yang diterapkan oleh setiap PTN.

Dengan penegasan-penegasan di atas nampak bahwa untuk menilai mampu tidaknya sebuah PTN menyelengarakan otonomi sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan PTN adalah ditakar dengan Peraturan Menteri, sedangkan norma yang harus dijadikan patokan dalam menyelenggarakan otonomi adalah Peraturan Pemerintah.

Babagaimana halnya dengan PTS? Sebagai bagian dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia, PTS berkeharusan menaati pengaturan dalam Peraturan Menteri dan Peraturan Pemerintah (yang akan terbit) itu. Selain itu, PTS berkeharuan menaati Pasal 67 UU No 12 Tahun 2012 yang menyatakan demikian: “Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 pada PTS diatur oleh badan penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas kiranya dapat dipahami bahwa otonomi pengelolaan PT di bidang akademik dan bidang non akademik mengandung beberapa makna. Pertama, bahwa tidak semua PTN berkewenangan menyelenggarakan otonomi di bidang akademik dan bidang non akademik. PT yang berwenang adalah PTN yang dinyatakan memenuhi syarat berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN.

Kedua, kewenangan yang diberikan kepada PTN terbatas pada penerapan norma atau ketentuan khusus tentangnya. Hal ini diatur secara khusus dan detail  dalam Peraturan Pemerintah seperti ditegaskan pada Pasal 98 UU No 12 Tahun 2012 di atas.

Ketiga, bahwa PTS apa pun sebagai bagian dari Pendidikan Tinggi di Indonesia dan diakui oleh, serta mengakui,  hukum Indonesia juga memiliki otonomi sebagaimana halnya PTN. Dalam menyelenggarakan otonomi di bidang akademik dan bidang non akademik itu, semua PTS berkeharusan mendasarkan diri pada dua ketentuan, yaitu ketentuan-ketentuan Pemerintah seperti UU, PP, PerMendikbud, dan ketentuan dari badan penyeleggara atau yayasan atau perkumpulan badan hukum penyelenggara pendidikan tinggi (lihat Pasal 67 jo Pasal 64 UU No 12. Tahun 2012).

Berdasarkan pemahaman di atas, nampak bahwa PTN pun tidak semua dan tidak otomatis berhak mendapatkan otonomi. Yang lebih beruntung adalah PTS. Dengan diakuinya Yayasan sebagai badan hukum, secara otomatis ia mendapatkan hak otonomi oleh ketentuan UU. Namun, ia tidak bisa sesukanya juga. UU menuntutnya menjalankan otonomi pengelolaan akademik dan non akademik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Yayasan, Badan Penyelenggara, atau Perkumpulan di mana PTS bersangkutan bernaung. Ini artinya bahwa keterlibatan Yayasan, atau Pembina atau Penggurus dalam menetapkan norma otonomi pengelolaan akademik dan non akademik bagi PTS sama sekali bukan intervensi, melainkan keharusan yang didelegasikan UU. 

Dengan demikian, jika ada pimpinan PTS yang mengatakan bahwa keterlibatan Yayasan atau Pembina atau Pegurus dalam mengatur otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi di bidang akademik adalah sebuah intervensi, nampaknya merupakan kekeliruan pemahaman terhadap perintah UU No 12 Tahun 2012. Itu menurut saya! ***


[1] Sampai tulisan ini dibuat, Peraturan Menteri tentang Otonomi Perguruan Tinggi belum terbit. Pasal 98 ayat (1) UU No 12 Tahun 2012 menyatakan bahwa “Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Berarti paling lambat tanggal 10 Agustus 2014. Dari 100 Pasal UU No 12 Tahun 2012 ada 39 pasal yang pelaksanaannya akan diatur dalam bentuk peraturan Menteri sebanyak 28 pasal dan Peraturan pemerintah sebanyak 11 pasal.



Tidak ada komentar: