Oleh Yosafati Gulo
Belakangan ini, di sebuah kampus PTS yang cukup dikenal di Indonesia sering
melontarkan wacana dikotomistik bahwa urusan akademik adalah urusan rektor dan urusan non
akademik adalah urusan yayasan. Pembina atau Pengurus Yayasan tak perlu
mengintervensi urusan akademik karena hal itu merupakan kewenangan rektor. Wacana
ini dilontarkan oleh pejabat struktural dan beberapa anggota pembina di yayasan
tersebut.
Pertanyaannya apa yang dimaksudkan dengan urusan akademik
dan non akademik? Apa benar bahwa semua hal yang berbau akademik adalah urusan
rektor sehinga Yayasan atau Pembina atau Pengurus sama sekali tak punya
kewenangan?
Mencegah diri terjerumus dalam generalisasi yang keliru, tulisan
berikut berusaha mengemukakan ketentuan hukum yang mengatur tentang urusan
akademik dan non akademik tersebut. Acuan bahasan adalah UU No 12 Tahun 2012
dan PP No 66 Tahun 2010 tentang perubahan PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelengaraan Pendidikan.
Otonomi Pengelolaan
Ada tujuh pasal dalam UU No 12 Tahun 2012 yang mengatur
tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi (PT), yaitu Pasal 62 sampai pada Pasal 68.
Pasal 62 menyebutkan bahwa perguruan tinggi (PT) memiliki otonomi untuk
mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Hal ini
dilaksakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan PT, yang dilaksanakan
secara mandiri berdasarkan Peraturan Menteri.
Konsep kunci dalam pasal itu ialah PT memiliki otonomi untuk
mengelola lembaganya. Otonomi dimaksud disyaratkan oleh tiga hal, kesesuaian
dengan dasar PT, tujuan PT, serta kemampuan PT dalam melaksanakan otonomi.
Asumsi di belakang konsp itu ialah bahwa hanyalah PT tertentu yang boleh melaksanakan
otonomi, yaitu yang memenuhi tiga syarat di atas.
Terlepas dari setuju atau tidak, dalam bahasa negatif, UU
No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi nampaknya menegaskan bahwa tidak
semua PT memiliki kemampuan dalam melaksanakan otonomi atau tidak semua PT
dibolehkan melaksanakan otonomi bila tidak sesuai dengan dasar dan tujuan PT. Takaran
yang dipakai untuk menilai hal itu adalah Peraturan menteri[1] tentang otonomi perguruan tinggi.Otonomi dimaksud (Pasal 64 ayat (1)) terdiri atas otonomi di
bidang akademik dan bidang non akademik.
Otonomi pengelolaan di bidang
akademik meliputi penerapan norma dan kebijakan operasional serta
pelaksanaan Tridharma (lihat Pasal 64 ayat (2)), sedangkan otonomi di bidang
non akademik meliputi penerapan norma dan kebijakan operasional
serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana
prasarana (Pasal 64 ayat (3)).
Syarat Otonomi
Pemberian otonomi itu, tidak bersifat
gebyah uyah atau pukul rata bagi semua PTN. Pasal 65 ayat (1) menegaskan,
“Penyelenggaraan otonomi PT sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 dapat
diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada
PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Layanan Umum atau dengan
membentuk PTN badan hukum untuk menghasilan Pendidikan Tinggi yang bermutu.”
PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum memiliki tata kelola
dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan (lihat
Pasal 65 ayat (2)).
Pertanyaannya, norma apa yang
diterapkan oleh PTN secara mandiri dalam mengelola lembaganya? Pasal 68
menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan PT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah itulah norma yang diterapkan oleh setiap PTN.
Dengan penegasan-penegasan di atas
nampak bahwa untuk menilai mampu tidaknya sebuah PTN menyelengarakan otonomi
sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan PTN adalah ditakar dengan Peraturan
Menteri, sedangkan norma yang harus dijadikan patokan dalam
menyelenggarakan otonomi adalah Peraturan Pemerintah.
Babagaimana halnya dengan PTS? Sebagai
bagian dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia, PTS berkeharusan menaati
pengaturan dalam Peraturan Menteri dan Peraturan Pemerintah (yang akan terbit)
itu. Selain itu, PTS berkeharuan menaati Pasal 67 UU No 12 Tahun 2012 yang
menyatakan demikian: “Penyelenggaraan otonomi
perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 pada PTS diatur oleh badan
penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di
atas kiranya dapat dipahami bahwa otonomi pengelolaan PT di bidang akademik dan
bidang non akademik mengandung beberapa makna. Pertama, bahwa tidak semua PTN berkewenangan menyelenggarakan
otonomi di bidang akademik dan bidang non akademik. PT yang berwenang adalah
PTN yang dinyatakan memenuhi syarat berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri
kepada PTN.
Kedua, kewenangan yang diberikan kepada PTN terbatas pada
penerapan norma atau ketentuan khusus tentangnya. Hal ini diatur secara khusus
dan detail dalam Peraturan Pemerintah
seperti ditegaskan pada Pasal 98 UU No 12 Tahun 2012 di atas.
Ketiga, bahwa PTS apa pun sebagai bagian dari Pendidikan Tinggi di
Indonesia dan diakui oleh, serta mengakui, hukum Indonesia juga memiliki otonomi
sebagaimana halnya PTN. Dalam menyelenggarakan otonomi di bidang akademik dan
bidang non akademik itu, semua PTS berkeharusan mendasarkan diri pada dua
ketentuan, yaitu ketentuan-ketentuan Pemerintah seperti UU, PP, PerMendikbud,
dan ketentuan dari badan penyeleggara atau yayasan atau perkumpulan badan hukum
penyelenggara pendidikan tinggi (lihat Pasal 67 jo Pasal 64 UU No 12. Tahun
2012).
Berdasarkan pemahaman di atas,
nampak bahwa PTN pun tidak semua dan tidak otomatis berhak mendapatkan otonomi.
Yang lebih beruntung adalah PTS. Dengan diakuinya Yayasan sebagai badan hukum,
secara otomatis ia mendapatkan hak otonomi oleh ketentuan UU. Namun, ia tidak
bisa sesukanya juga. UU menuntutnya menjalankan otonomi pengelolaan akademik dan
non akademik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Yayasan, Badan
Penyelenggara, atau Perkumpulan di mana PTS bersangkutan bernaung. Ini artinya
bahwa keterlibatan Yayasan, atau Pembina atau Penggurus dalam menetapkan norma
otonomi pengelolaan akademik dan non akademik bagi PTS sama sekali bukan
intervensi, melainkan keharusan yang didelegasikan UU.
Dengan demikian, jika ada pimpinan
PTS yang mengatakan bahwa keterlibatan Yayasan atau Pembina atau Pegurus dalam mengatur otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi di bidang akademik
adalah sebuah intervensi, nampaknya merupakan kekeliruan pemahaman terhadap
perintah UU No 12 Tahun 2012. Itu menurut saya! ***
[1] Sampai tulisan ini dibuat, Peraturan Menteri tentang Otonomi Perguruan
Tinggi belum terbit. Pasal 98 ayat (1) UU No 12 Tahun 2012 menyatakan bahwa
“Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 2
(dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Berarti paling
lambat tanggal 10 Agustus 2014. Dari 100 Pasal UU No 12 Tahun 2012 ada 39 pasal
yang pelaksanaannya akan diatur dalam bentuk peraturan Menteri sebanyak 28
pasal dan Peraturan pemerintah sebanyak 11 pasal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar