Oleh : Yosafati Gulo
Sebagaimana difahami bahwa hukum bukanlah sesuatu yang hadir
di dunia hampa. Ia selalu hadir bersama dan di tengah-tengah masyarakat
manusia. Di mana ada manusia, seprimitif atau semodern apa pun, di situ ada
hukum, baik tertulis maupun tak tertulis (ubi
societas ibi ius, tulis Markus Tullius Cicero). Hukum tertulis tumbuh dan
berkembang di kalangan masyarakat modern sementara hukum tak tertulis tumbuh
dan berkembang dalam praktek hidup masyarakat
tradisional.
Ada setidaknya tiga alasan mengapa hukum penting bagi
manusia, yaitu bahwa dalam melangsungkan kehidupannya manusia memerlukan ketertiban,
kepastian, dan keadilan.[1] Dengan adanya
ketiga hal itu, maka berbagai kebutuhan hidup manusia sebagai individu dan
anggota masyarakat dapat terpenuhi. Manusia dapat hidup dan memenuhi kebutuhan
hidupnya secara nyaman bersama manusia lain, hak hidup individu dan masyarakat
dapat ditata dan dilindungi berdasarkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang diciptakan
dan diterima bersama. Dalam kebersamaan itu pula setiap individu dimungkinkan
untuk mengembangkan segala potensi dan kemampuannya berdasarkan pilihan
bebasnya sesuai dengan norma-norma dan kaidah-kaidah perilaku yang ada. Atau
secara negatif dapat dikatakan bahwa dengan adanya hukum, manusia tidak mejadi
menjadi serigala bagi sesamanya.
Dengan demikian, hukum bersifat mengatur, menata, dan
mengarahkan dan mengendalikan perkembangan hidup, baik untuk kepentingan kini
maupun kehidupan yang dicita-citakan oleh individu dan masyarakat. Dalam
konteks itu, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum adalah suatu institusi
yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan
membuat manusia bahagia.[2] Ini
artinya bahwa hukum dengan segala perjuangannya, tidak bertujuan dan berakhir
pada penyempurnaan dirinya sendiri melainkan pada penyepurnaan hidup manusia
untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik.
Bila dikaitkan dengan kecenderungan pasar bebas dalam masyarakat
modern dewasa ini, maka peranan hukum melalui peraturan tatanan hukum yang
andal makin terasa penting. Terutama dalam mengkanalisasi bekerjanya mekanisme
pasar bebas untuk mencegah terciptanya apa yang disebut oleh Thomas Hobbes
sebagai “bellum ominum contra omnes” (the war of all against all) dalam
lingkungan dunia usaha serta dapat mencegah dan mengendalikan kecenderungan
sifat hedonistik dan materialistik sebagaimana yang tampak dalam masyarakat
indusri yang kapitalis di negara-negara Barat[3]. Tanpa
hukum, peradaban manusia barangkali tak bertahan lama dan segera punah
menghadapi sifat manusia yang antagonis, yaitu di satu pihak menginginkan
kehidupan yang lebih baik, sehat jasmani, dan rohani, dan dipihak lain ia
memiliki kemampuan merusak diri dan lingkungan hidup di sekitarnya untuk
kepentingan atau kepuasan hidup sesaat.
Kondisi Hukum di
Indonesia
Apa yang digambarkan di atas, nampaknya masih merupakan
perjuangan panjang di Indonesia. Berbagai peristiwa hukum dan peradilan yang
tidak hanya tunduk di bawah pengaruh politik tetapi juga diwarnai oleh
positivisme hukum dan tidak dijalankannya hukum secara baik oleh para penegak
hukum tampak mencederai kepastian, ketertiban, dan keadilan dalam masyarakat
.
Kasus BLBI dan bank Century yang menelan uang negara
triliyunan rupiah, kasus Gayus Halomoan Tambunan, kasus Miranda Gultom dalam
Pemilihan Gubernur BI, kasus Wisma Atlet Sea Games atau suap pembangunan sport center Hambalang, Jawa Barat yang melibatkan
banyak pejabat tinggi negara dan pengurus Partai Demokrat, dsb., yang cenderung diterlantarkan, dan kalau dikontraskan dengan kasus mbok Minah[4] tampak jelas bahwa kondisi hukum di Tanah Air makin
terasa jauh dari perannya seperti tersebutkan di depan. Hal ini seolah makin
diperkeruh oleh keputusan beberapa Hakim Tipikor yang menuntut bebas beberapa Bupati/wali
kota yang terjerat kasus korupsi. Itulah sebabnya banyak yang makin pesimis
terhadap penegakan hukum.
Dalam
kasus-kasus keagamaan, hukum Indonesia malahan lumpuh sama sekali dibantai oleh
tekanan masa. Kasus pembantaian anggota Ahmadiyah beberapa waktu lalu bukan
hanya mencukur hukum di depan publik, tetapi telah menjadi sebuah “pertunjukan”
olok-olok terhadap apa yang disebut sebagai hak asasi manusia. Disebut demikian
karena tindakan brutal masa yang menganiaya, menyiksa, dan membunuh penganut
Ahmadiyah terjadi depan petugas kepolisian tanpa upaya mencegah atau melindungi
korban. Di pengadilan, drama berikutnya seolah melengkapi apa yang terjadi di
tempat kejadian perkara. Yang diadili bukannya para penganiaya dan pembunuh
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, melainkan para penganut Ahmadiyah
yang masih hidup.[5]
Atas hukuman itu, Ketua Umum Pengurus Pusat
Muhammadiyah Din Syamsudin menilainya sangat tidak adil. Dikatakannya, Majelis
Hakim hanya menjatuhkan hukuman antara 3 hingga 6 bulan penjara kepada 12
terdakwa kasus bentrokan warga Ahmadiyah dan Warga. Hukuman semacam itu, jika dikurangi
dengan masa tahanan, maka vonis 3-6 bulan itu sama dengan bebas[6].
Dalam logika awam, keputusan semacam ini jauh dari keadilan yang diharapkan.
Kasus mutakhir adalah kasus GKI Yasmin Bogor.
Kehadiran Gereja di tempat itu, diprotes oleh kelompok agama terentu dengan
alasan bahwa ijin mendirikan bangunan tidak sah. Atas tuntutan itu, Walikota
Bogor, Diani Budiarto, menyegel tempat ibadah tersebut berdasarkan kuasa yang
ada padanya sebagai Wali Koa. Akibatnya anggota jemaat GKI Yasmin tidak dapat
melakukan ibadah tiap minggu secara wajar. Mereka hanya melaksanakan ibadahnya
di luar gedung gereja dengan kawalan pihak kepolisian. Mahkamah Agung (MA) sendiri
sudah membatalkan keputusan Wali Kota Bogor dan menolak Peninjauan Kembali
keputusan MA yang diajukan oleh Wali Kota Bogor melalui PK MA No 127/PK/TUN /2009
tertanggal 9 Desember 2010 yang diperkuat oleh Ombudsman RI dengan mengeluarkan
rekomendasi bernomor 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 pada 8 Juli 2011 tentang
pencabutan keputusan Wali Kota Bogor tentang IMB GKI Yasmin. Namun semua itu
tidak dipatuhi oleh Walikota Bogor, kendati banyak pihak yang mendesak agar
beliau sebagai pejabat publik beliau perlu mematuhi keputusan MA.
Kritik-kritik terhadap sikap Wali Kota Bogor tak
pernah berhenti sampai saat ini. Wakil Ketua DPR Pramono Anung[7]
memertanyakan sikap pemerintah RI yang tanpak membiarkan kasus GKI Yasmin
mengambang. Menurut Pramono Anung, Pemerintah RI nampak terlalu mengedepankan dukungan
publik sebagai instrumen untuk mengambil kebijakan, termasuk dalam kasus GKI
Yasmin. Sikap semacam ini menurutnya menunjukkan bahwa bangsa kita mengalami hyper-democracy,
di mana ukurannya selalu dukungan publik. Bahkan kasus yang sudah di depan mata
seperti persoalan GKI Yasmin, hitung-hitungannya (pertimbangannya) adalah
dukungan publik, tidak lagi soal penegakan hukum.
Terjadinya hal di atas, tentu saja bukan karena
hukum itu sendiri. Sebab sebaik apa pun hukum, sebagai rumusan-rumusan
undang-undang atau peraturan-peraturan, sebuah institusi, ia tak mungkin
bekerja oleh dirinya sendiri. Ia hanya dapat berfungsi, bekerja dan mencapai tujuannya
bila diperjuangkan oleh para penegak hukum. Secara ideal, normatif, di tangan para
penegak hukumlah hukum dapat bertaji dan tajam dalam membedah kasus-kasus hukum
guna mewujudkan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum. Sebaliknya, manakala
para penegak hukum keluar atau menyimpang dari tujuan akhir yang hendak diwujudkan
oleh hukum, maka hukum cenderung menjadi tumpul dan gagal menjalankan tugasnya bagi
kepentingan manusia Indonesia.
Dalam kaitan ini menarik difahami apa yang dikemukakan
oleh Teddy Asmara (2011:2-3) bahwa dalam menjalankan tugasnya, para hakim (dan
tentu para penegak hukum lainnya) ada banyak faktor yang turut berperan. Yang
utama adalah faktor kemanusiaan yang melekat dalam diri para penegak hukum. Sebagai
manusia, penegak hukum tidaklah sama dengan komputer atau robot yang dapat
diprogram, yang tidak punya niat dan kehendak, tidak mengenal kecewa atau
bahagia, tidak pernah merasa lapar, dan tidak suka berdoa. Dalam konteks itu,
siapa pun penegak hukum senantiasa dipengaruhi oleh sifat-sifat manusiawi itu
dalam bekerja dan mengambil keputusan hukum. Maka ketika menggunkan otoritas
kebebasan yuridisnya, para hakim (baca:
penegak hukum) dalam menangani perkara, di balik skema yuridis yang tertulis
dalam naskah keputusannya, senantiasa diwarnai oleh sifat-sifat manusiawi
seperti gagasan, motif, tujuan, dan cara yang dipilih untuk mencapai apa yang
menjadi kehendaknya.
Kedua, sebagai konsekuensi dari sifat-sifat
manusiawinya para penegak hukum seolah-olah memiliki budaya hukum sendiri yang
berbeda dari budaya hukum pada masyarakat. Dalam studinya, Teddy Asmara
memformulasikan hal itu dengan istilah budaya ekonomi hukum. Yang memegang
peranan di sini adalah rasionalitas ekonomi. Dengan rasionalitas ekonomi itu,
ditambah dengan realitas bahwa penanganan perkara tidak berjalan linier dalam
keajegan prosedural[8], maka proses penanganan
perkara hukum seolah-olah merupakan arena persaingan rasional ekonomi di
masing-masing para penegak hukum. Sebagai arena, disadari atau tidak, para
penegak humum cendereung terkondisi untuk mencari menang atau mendapatkan
keuntungan-keuntungan sesuai dengan rasionalitas ekonomi.
Ketiga, para penegak hukum, bahkan pemerintah RI,
cenderung tunduk pada tekanan massa. Dapat dikatakan bahwa dalam beberapa kasus
belakangan ini, keputusan hakim dan penegak hukum lainnya tidak lagi didasarkan
pada ketentuan hukum, melainkan pada hendak massa. Dalam kasus Ahmadiyah, GKI
Yasmin, dan Ariel Pater Pan umpamanya keputusan yang didasarkan pada kehendak
massa itu sangat kasat mata.
Konsistensi
Orientasi
Bertolak dari kenyataan yang ada, maka pesimisme
masyarakat terhadap hukum di Indonesia cukup beralasan. Tanpa pembenahan yang
lebih serius, pesimisme itu dapat mengarah pada makin tidak dipercayainya hukum
dan para penegak hukum dan berujung pada kekacauan (untuk tidak mengatakan
makin menyuburkan gejala ‘hukum rimba’). Jika ini terjadi, maka bukan tidak
mungkin Indonesia akan menjadi negara gagal[9] seperti
pernah ramai dibicarakan di berbagai forum beberapa waktu lalu karena negara
tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagaimana tercermin dalam ideal-ideal
yang dirumuskan bersama dalam mukadimah dan batang tubuh UUD 1945 ketika negara
ini berdiri sebagai sebuah negara merdeka.
Ada beberapa alternatif yang dapat ditempuh untuk
mencegah Indonesia menjadi negara gagal sekaligus merupakan upaya penegakan
hukum. Pertama, semua pihak perlu membangun kembali komitmen untuk menegakkan prinsip
dasar bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan komitmen itu, masing-masing
pihak perlu kembali menata diri dalam segala urusan untuk taat hukum sebagaimana
termanifestasi dalam berbagai pertauran perundang-undangan.
Upaya tersebut tentu tidak mudah karena banyak
(untuk tidak mengatakan semua) pihak sudah sangat terbiasa hidup dalam suasana
pelanggaran-pelanggaran hukum, sehingga gejala pelanggaran hukum diterima
sebagai hal yang wajar. Ada semacam “lingkaran setan” yang melilit semua orang, baik para penegak
hukum maupun anggota masyarakat. Para penegak hukum melakukan pelanggaran
karena dinilai menguntungkan diri mereka dan anggota masyarakat menerima pelanggaran
itu sebagai hal wajar. Atau sebaliknya, untuk mencapai tujuan tertentu, anggota
masyarakat menciptakan kondisi tertentu agar penegak hukum melakukan atau tidak
melakukan sesuatu sesuai tugas dan tanggung jawabnya dalam jabatannya. Dan
karena para penegak hukum mendapatkan sesuatu atas kondisi itu, maka mereka pun
setuju.
Kedua, untuk memotong lingkaran setan itu
nampaknya lebih dimungkinkan dengan pendekatan budaya. Mengingat bangsa
Indonesia masih menganut budaya paternalisme, maka pembenahan dari ‘atas’
adalah pilihan tepat. Pimpinan tertinggi eksekutif menyusul pada level bawah,
gubernur, Bupati/Wali kota, Camat, Lurah. Demikian pula pada lembaga-lembaga
legislatif dan yudikatif. Yang menjadi persoalan ialah apakah para pimpinan
eksekurif, yudikatif, dan legislatif memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas
dan tanggungjawabnya sesuai dengan sumpahnya ketika dilantik? Jika ya, maka
diyakini penegakan hukum akan mendapat tempat terdepan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Ketiga, para penegak hukum berkeharusan
mengorientasikan diri dan keputusan-keputusan hukum pada cita-cita negara yang
pada intinya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Contoh sederhana dalam
skala keluarga adalah dengan mengorientasikan segala upaya untuk mencapai
kesejahteraan keluarga, maka secara otomatis kesejateraan tiap individu dalam
keluarga itu terpenuhi. Ini artinya bahwa ukuran-ukuran yang dipakai adalah ukuran
keluarga, dan bukan ukuran individu tertentu. Dalam konteks negara, cara
berpikir seperti itu dapat diterapkan. Kepentingan individu para penegak hukum
perlu ditempatkan dalam kerangka kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Para
penegak hukum mengharuskan diri untuk tidak menonjolkan kepentingan dan
kepuasan diri sendiri dan menghanyutkan diri pada ukuran-ukuran rasionalitas
ekonomi.
Untuk mencapai hal ini juga tidak semudah
mengatakannya. Oleh karena itu, sarana terakhir adalah keterpanggilan nurani.
Siapa pun pejabat dan para penegak hukum semestinya mengedepankan panggilan
nurani ketika “mengejar” dan menerima jabatan. Tanpa tuntunan nurani ini,
nampaknya persepektif hukum di Indonesia tetap jauh dari apa yang
dicita-citakan oleh para pendiri republik sebagaimana tercermin dalam pembukaan
dan batang tubuh UUD 1945. Bahkan mungkin akan terjadi apa yang dikuatirkan
oleh MT Zen bahwa suatu saat negara ini akan menjadi negara gagal. Semoga saja
tidak demikian.***
Salatiga, 25 Desember 2011
[1] Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi
Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Cet. Kedua, 2006, hal 1-10
[2]
Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Cet. I, Juli 2009 hal. 2
[3] Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi
Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Cet. Kedua, 2006, hal 9
[4] Oke Zone, 18 November 2009, Dituduh
Curi Buah Kakao 3 Biji, Nenek Ditahan Rumah 3 Bulan. Ini dialami
oleh seorang perempuan bernama Mbok Minah, di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
[5] Salah satu Koran Belanda NRC Handelsblad memuat artikel berjudul "Diserang dan
disiksa, tapi tetap dinyatakan kambing hitam." Indonesia memperlakukan
pengikut Ahmadiyah lebih keji dibandingkan memperlakukan pendukung
fundamentalis. Mereka bahkan menganggap pengikut Ahmadiyah sebagai orang
bid'ah. Dan pelaku penyerangan terhadap Ahmadiyah mendapat hukuman yang boleh
dibilang ringan. Dari 12 orang pelaku penganiayaan dan pembunuhan, hakim
menjatuhkan hukuman antara 3-6 bulan penjara sementara korban yang masih hidup
juga dihukum sama.
[6]
http://www.kbr68h.com/berita/nasional/9919-muhammadiyah-kecam-vonis-rendah-cikeusik
[7] Viva News, 22 Desember 2011
[8] Dijelaskan oleh Teddy Asmara bahwa dalam
penanganan perkara senantiasa merupakan tindakan yang tidak berdiri sendiri,
tetapi merupakan proses yang kompleks dari interaksi para hakim dengan para
pelaku hukum, lembaga, dan partisipan lainnya. Pada fase prosedur administrasi
misalnya, pada tahap pendistribusian perkara dan atau penunjukkan hakim
majelis, andil subjektivitas hakim, jaksa, advokat, panieram dan aktor lainnya
bisa mulai dan/atau ada yang ‘terbiasa’ memainkan aksi-aksi non-prosedural.
[9] MT Zen, dalam tulisannya di harian Kompas,
14 Mei 2008 memberikan beberapa indikasi pokok bagi sebuah negara gagal, yaitu,
antara lain, tidak adanya jaminan
keamanan bagi anggota masyarakat. Perusakan rumah-rumah ibadah adalah salah
satu hal khas bagi negara gagal; korupsi merajalela dan dilakukan oleh lemaga
yang memunyai tugas pokok untuk melindungi rakyat, masyarakat, dan negara,
seperi DPR, DPRD, MA, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan anggota kabinet; makin
merebaknya bentrokan-entrokan horizontal antara etnisitas; dan kehialangan kepercayaan
masyarakat secara merata dan menyeluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar