Minggu, 27 Januari 2013

PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA



Oleh : Yosafati Gulo

Sebagaimana difahami bahwa hukum bukanlah sesuatu yang hadir di dunia hampa. Ia selalu hadir bersama dan di tengah-tengah masyarakat manusia. Di mana ada manusia, seprimitif atau semodern apa pun, di situ ada hukum, baik tertulis maupun tak tertulis (ubi societas ibi ius, tulis Markus Tullius Cicero). Hukum tertulis tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat modern sementara hukum tak tertulis tumbuh dan berkembang dalam praktek hidup masyarakat  tradisional.

Ada setidaknya tiga alasan mengapa hukum penting bagi manusia, yaitu bahwa dalam melangsungkan kehidupannya manusia memerlukan ketertiban, kepastian, dan keadilan.[1] Dengan adanya ketiga hal itu, maka berbagai kebutuhan hidup manusia sebagai individu dan anggota masyarakat dapat terpenuhi. Manusia dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara nyaman bersama manusia lain, hak hidup individu dan masyarakat dapat ditata dan dilindungi berdasarkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang diciptakan dan diterima bersama. Dalam kebersamaan itu pula setiap individu dimungkinkan untuk mengembangkan segala potensi dan kemampuannya berdasarkan pilihan bebasnya sesuai dengan norma-norma dan kaidah-kaidah perilaku yang ada. Atau secara negatif dapat dikatakan bahwa dengan adanya hukum, manusia tidak mejadi menjadi serigala bagi sesamanya.

Dengan demikian, hukum bersifat mengatur, menata, dan mengarahkan dan mengendalikan perkembangan hidup, baik untuk kepentingan kini maupun kehidupan yang dicita-citakan oleh individu dan masyarakat. Dalam konteks itu, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[2] Ini artinya bahwa hukum dengan segala perjuangannya, tidak bertujuan dan berakhir pada penyempurnaan dirinya sendiri melainkan pada penyepurnaan hidup manusia untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik.

Bila dikaitkan dengan kecenderungan pasar bebas dalam masyarakat modern dewasa ini, maka peranan hukum melalui peraturan tatanan hukum yang andal makin terasa penting. Terutama dalam mengkanalisasi bekerjanya mekanisme pasar bebas untuk mencegah terciptanya apa yang disebut oleh Thomas Hobbes sebagai “bellum ominum contra omnes” (the war of all against all) dalam lingkungan dunia usaha serta dapat mencegah dan mengendalikan kecenderungan sifat hedonistik dan materialistik sebagaimana yang tampak dalam masyarakat indusri yang kapitalis di negara-negara Barat[3]. Tanpa hukum, peradaban manusia barangkali tak bertahan lama dan segera punah menghadapi sifat manusia yang antagonis, yaitu di satu pihak menginginkan kehidupan yang lebih baik, sehat jasmani, dan rohani, dan dipihak lain ia memiliki kemampuan merusak diri dan lingkungan hidup di sekitarnya untuk kepentingan atau kepuasan hidup sesaat.

Kondisi Hukum di Indonesia

Apa yang digambarkan di atas, nampaknya masih merupakan perjuangan panjang di Indonesia. Berbagai peristiwa hukum dan peradilan yang tidak hanya tunduk di bawah pengaruh politik tetapi juga diwarnai oleh positivisme hukum dan tidak dijalankannya hukum secara baik oleh para penegak hukum tampak mencederai kepastian, ketertiban, dan keadilan dalam masyarakat
.
Kasus BLBI dan bank Century yang menelan uang negara triliyunan rupiah, kasus Gayus Halomoan Tambunan, kasus Miranda Gultom dalam Pemilihan Gubernur BI, kasus Wisma Atlet Sea Games atau suap pembangunan sport center Hambalang, Jawa Barat yang melibatkan banyak pejabat tinggi negara dan pengurus Partai Demokrat, dsb., yang cenderung diterlantarkan, dan kalau dikontraskan dengan kasus mbok Minah[4] tampak jelas bahwa kondisi hukum di Tanah Air makin terasa jauh dari perannya seperti tersebutkan di depan. Hal ini seolah makin diperkeruh oleh keputusan beberapa Hakim Tipikor yang menuntut bebas beberapa Bupati/wali kota yang terjerat kasus korupsi. Itulah sebabnya banyak yang makin pesimis terhadap penegakan hukum.

Dalam kasus-kasus keagamaan, hukum Indonesia malahan lumpuh sama sekali dibantai oleh tekanan masa. Kasus pembantaian anggota Ahmadiyah beberapa waktu lalu bukan hanya mencukur hukum di depan publik, tetapi telah menjadi sebuah “pertunjukan” olok-olok terhadap apa yang disebut sebagai hak asasi manusia. Disebut demikian karena tindakan brutal masa yang menganiaya, menyiksa, dan membunuh penganut Ahmadiyah terjadi depan petugas kepolisian tanpa upaya mencegah atau melindungi korban. Di pengadilan, drama berikutnya seolah melengkapi apa yang terjadi di tempat kejadian perkara. Yang diadili bukannya para penganiaya dan pembunuh sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, melainkan para penganut Ahmadiyah yang masih hidup.[5]

Atas hukuman itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin menilainya sangat tidak adil. Dikatakannya, Majelis Hakim hanya menjatuhkan hukuman antara 3 hingga 6 bulan penjara kepada 12 terdakwa kasus bentrokan warga Ahmadiyah dan Warga. Hukuman semacam itu, jika dikurangi dengan masa tahanan, maka vonis 3-6 bulan itu sama dengan bebas[6]. Dalam logika awam, keputusan semacam ini jauh dari keadilan yang diharapkan.

Kasus mutakhir adalah kasus GKI Yasmin Bogor. Kehadiran Gereja di tempat itu, diprotes oleh kelompok agama terentu dengan alasan bahwa ijin mendirikan bangunan tidak sah. Atas tuntutan itu, Walikota Bogor, Diani Budiarto, menyegel tempat ibadah tersebut berdasarkan kuasa yang ada padanya sebagai Wali Koa. Akibatnya anggota jemaat GKI Yasmin tidak dapat melakukan ibadah tiap minggu secara wajar. Mereka hanya melaksanakan ibadahnya di luar gedung gereja dengan kawalan pihak kepolisian. Mahkamah Agung (MA) sendiri sudah membatalkan keputusan Wali Kota Bogor dan menolak Peninjauan Kembali keputusan MA yang diajukan oleh Wali Kota Bogor melalui PK MA No 127/PK/TUN /2009 tertanggal 9 Desember 2010 yang diperkuat oleh Ombudsman RI dengan mengeluarkan rekomendasi bernomor 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 pada 8 Juli 2011 tentang pencabutan keputusan Wali Kota Bogor tentang IMB GKI Yasmin. Namun semua itu tidak dipatuhi oleh Walikota Bogor, kendati banyak pihak yang mendesak agar beliau sebagai pejabat publik beliau perlu mematuhi keputusan MA.

Kritik-kritik terhadap sikap Wali Kota Bogor tak pernah berhenti sampai saat ini. Wakil Ketua DPR Pramono Anung[7] memertanyakan sikap pemerintah RI yang tanpak membiarkan kasus GKI Yasmin mengambang. Menurut Pramono Anung, Pemerintah RI nampak terlalu mengedepankan dukungan publik sebagai instrumen untuk mengambil kebijakan, termasuk dalam kasus GKI Yasmin. Sikap semacam ini menurutnya menunjukkan bahwa bangsa kita mengalami hyper-democracy, di mana ukurannya selalu dukungan publik. Bahkan kasus yang sudah di depan mata seperti persoalan GKI Yasmin, hitung-hitungannya (pertimbangannya) adalah dukungan publik, tidak lagi soal penegakan hukum.

Terjadinya hal di atas, tentu saja bukan karena hukum itu sendiri. Sebab sebaik apa pun hukum, sebagai rumusan-rumusan undang-undang atau peraturan-peraturan, sebuah institusi, ia tak mungkin bekerja oleh dirinya sendiri. Ia hanya dapat berfungsi, bekerja dan mencapai tujuannya bila diperjuangkan oleh para penegak hukum. Secara ideal, normatif, di tangan para penegak hukumlah hukum dapat bertaji dan tajam dalam membedah kasus-kasus hukum guna mewujudkan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum. Sebaliknya, manakala para penegak hukum keluar atau menyimpang dari tujuan akhir yang hendak diwujudkan oleh hukum, maka hukum cenderung menjadi tumpul dan gagal menjalankan tugasnya bagi kepentingan manusia Indonesia.

Dalam kaitan ini menarik difahami apa yang dikemukakan oleh Teddy Asmara (2011:2-3) bahwa dalam menjalankan tugasnya, para hakim (dan tentu para penegak hukum lainnya) ada banyak faktor yang turut berperan. Yang utama adalah faktor kemanusiaan yang melekat dalam diri para penegak hukum. Sebagai manusia, penegak hukum tidaklah sama dengan komputer atau robot yang dapat diprogram, yang tidak punya niat dan kehendak, tidak mengenal kecewa atau bahagia, tidak pernah merasa lapar, dan tidak suka berdoa. Dalam konteks itu, siapa pun penegak hukum senantiasa dipengaruhi oleh sifat-sifat manusiawi itu dalam bekerja dan mengambil keputusan hukum. Maka ketika menggunkan otoritas kebebasan  yuridisnya, para hakim (baca: penegak hukum) dalam menangani perkara, di balik skema yuridis yang tertulis dalam naskah keputusannya, senantiasa diwarnai oleh sifat-sifat manusiawi seperti gagasan, motif, tujuan, dan cara yang dipilih untuk mencapai apa yang menjadi kehendaknya.

Kedua, sebagai konsekuensi dari sifat-sifat manusiawinya para penegak hukum seolah-olah memiliki budaya hukum sendiri yang berbeda dari budaya hukum pada masyarakat. Dalam studinya, Teddy Asmara memformulasikan hal itu dengan istilah budaya ekonomi hukum. Yang memegang peranan di sini adalah rasionalitas ekonomi. Dengan rasionalitas ekonomi itu, ditambah dengan realitas bahwa penanganan perkara tidak berjalan linier dalam keajegan prosedural[8], maka proses penanganan perkara hukum seolah-olah merupakan arena persaingan rasional ekonomi di masing-masing para penegak hukum. Sebagai arena, disadari atau tidak, para penegak humum cendereung terkondisi untuk mencari menang atau mendapatkan keuntungan-keuntungan sesuai dengan rasionalitas ekonomi.

Ketiga, para penegak hukum, bahkan pemerintah RI, cenderung tunduk pada tekanan massa. Dapat dikatakan bahwa dalam beberapa kasus belakangan ini, keputusan hakim dan penegak hukum lainnya tidak lagi didasarkan pada ketentuan hukum, melainkan pada hendak massa. Dalam kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, dan Ariel Pater Pan umpamanya keputusan yang didasarkan pada kehendak massa itu sangat kasat mata.

Konsistensi Orientasi

Bertolak dari kenyataan yang ada, maka pesimisme masyarakat terhadap hukum di Indonesia cukup beralasan. Tanpa pembenahan yang lebih serius, pesimisme itu dapat mengarah pada makin tidak dipercayainya hukum dan para penegak hukum dan berujung pada kekacauan (untuk tidak mengatakan makin menyuburkan gejala ‘hukum rimba’). Jika ini terjadi, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara gagal[9] seperti pernah ramai dibicarakan di berbagai forum beberapa waktu lalu karena negara tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagaimana tercermin dalam ideal-ideal yang dirumuskan bersama dalam mukadimah dan batang tubuh UUD 1945 ketika negara ini berdiri sebagai sebuah negara merdeka.

Ada beberapa alternatif yang dapat ditempuh untuk mencegah Indonesia menjadi negara gagal sekaligus merupakan upaya penegakan hukum. Pertama, semua pihak perlu membangun kembali komitmen untuk menegakkan prinsip dasar bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan komitmen itu, masing-masing pihak perlu kembali menata diri dalam segala urusan untuk taat hukum sebagaimana termanifestasi dalam berbagai pertauran perundang-undangan.

Upaya tersebut tentu tidak mudah karena banyak (untuk tidak mengatakan semua) pihak sudah sangat terbiasa hidup dalam suasana pelanggaran-pelanggaran hukum, sehingga gejala pelanggaran hukum diterima sebagai hal yang wajar. Ada semacam “lingkaran setan”  yang melilit semua orang, baik para penegak hukum maupun anggota masyarakat. Para penegak hukum melakukan pelanggaran karena dinilai menguntungkan diri mereka dan anggota masyarakat menerima pelanggaran itu sebagai hal wajar. Atau sebaliknya, untuk mencapai tujuan tertentu, anggota masyarakat menciptakan kondisi tertentu agar penegak hukum melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai tugas dan tanggung jawabnya dalam jabatannya. Dan karena para penegak hukum mendapatkan sesuatu atas kondisi itu, maka mereka pun setuju.

Kedua, untuk memotong lingkaran setan itu nampaknya lebih dimungkinkan dengan pendekatan budaya. Mengingat bangsa Indonesia masih menganut budaya paternalisme, maka pembenahan dari ‘atas’ adalah pilihan tepat. Pimpinan tertinggi eksekutif menyusul pada level bawah, gubernur, Bupati/Wali kota, Camat, Lurah. Demikian pula pada lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif. Yang menjadi persoalan ialah apakah para pimpinan eksekurif, yudikatif, dan legislatif memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan sumpahnya ketika dilantik? Jika ya, maka diyakini penegakan hukum akan mendapat tempat terdepan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, para penegak hukum berkeharusan mengorientasikan diri dan keputusan-keputusan hukum pada cita-cita negara yang pada intinya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Contoh sederhana dalam skala keluarga adalah dengan mengorientasikan segala upaya untuk mencapai kesejahteraan keluarga, maka secara otomatis kesejateraan tiap individu dalam keluarga itu terpenuhi. Ini artinya bahwa ukuran-ukuran yang dipakai adalah ukuran keluarga, dan bukan ukuran individu tertentu. Dalam konteks negara, cara berpikir seperti itu dapat diterapkan. Kepentingan individu para penegak hukum perlu ditempatkan dalam kerangka kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Para penegak hukum mengharuskan diri untuk tidak menonjolkan kepentingan dan kepuasan diri sendiri dan menghanyutkan diri pada ukuran-ukuran rasionalitas ekonomi.

Untuk mencapai hal ini juga tidak semudah mengatakannya. Oleh karena itu, sarana terakhir adalah keterpanggilan nurani. Siapa pun pejabat dan para penegak hukum semestinya mengedepankan panggilan nurani ketika “mengejar” dan menerima jabatan. Tanpa tuntunan nurani ini, nampaknya persepektif hukum di Indonesia tetap jauh dari apa yang dicita-citakan oleh para pendiri republik sebagaimana tercermin dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Bahkan mungkin akan terjadi apa yang dikuatirkan oleh MT Zen bahwa suatu saat negara ini akan menjadi negara gagal. Semoga saja tidak demikian.***


Salatiga, 25 Desember 2011





[1] Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Cet. Kedua, 2006, hal 1-10
[2] Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Cet. I, Juli 2009 hal. 2
[3] Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Cet. Kedua, 2006, hal 9
[4] Oke Zone, 18 November 2009, Dituduh Curi Buah Kakao 3 Biji, Nenek Ditahan Rumah 3 Bulan. Ini dialami oleh seorang perempuan bernama Mbok Minah, di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
[5] Salah satu Koran Belanda NRC Handelsblad memuat artikel berjudul "Diserang dan disiksa, tapi tetap dinyatakan kambing hitam." Indonesia memperlakukan pengikut Ahmadiyah lebih keji dibandingkan memperlakukan pendukung fundamentalis. Mereka bahkan menganggap pengikut Ahmadiyah sebagai orang bid'ah. Dan pelaku penyerangan terhadap Ahmadiyah mendapat hukuman yang boleh dibilang ringan. Dari 12 orang pelaku penganiayaan dan pembunuhan, hakim menjatuhkan hukuman antara 3-6 bulan penjara sementara korban yang masih hidup juga dihukum sama.
[6] http://www.kbr68h.com/berita/nasional/9919-muhammadiyah-kecam-vonis-rendah-cikeusik

[7] Viva News, 22 Desember 2011
[8] Dijelaskan oleh Teddy Asmara bahwa dalam penanganan perkara senantiasa merupakan tindakan yang tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan proses yang kompleks dari interaksi para hakim dengan para pelaku hukum, lembaga, dan partisipan lainnya. Pada fase prosedur administrasi misalnya, pada tahap pendistribusian perkara dan atau penunjukkan hakim majelis, andil subjektivitas hakim, jaksa, advokat, panieram dan aktor lainnya bisa mulai dan/atau ada yang ‘terbiasa’ memainkan aksi-aksi non-prosedural.
[9] MT Zen, dalam tulisannya di harian Kompas, 14 Mei 2008 memberikan beberapa indikasi pokok bagi sebuah negara gagal, yaitu, antara lain,  tidak adanya jaminan keamanan bagi anggota masyarakat. Perusakan rumah-rumah ibadah adalah salah satu hal khas bagi negara gagal; korupsi merajalela dan dilakukan oleh lemaga yang memunyai tugas pokok untuk melindungi rakyat, masyarakat, dan negara, seperi DPR, DPRD, MA, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan anggota kabinet; makin merebaknya bentrokan-entrokan horizontal antara etnisitas; dan kehialangan kepercayaan masyarakat secara merata dan menyeluruh.

Tidak ada komentar: