Sabtu, 09 Februari 2013

Trimester Malu-malu dan Pembunuhan Demokrasi



Oleh Yosafati Gulo

Sebuah PTS yang pernah punya nama besar karena banyak dosen dan mahasiswanya sering mengkritisi kebijakan-kebijakan Pemerintah, nampak sangat bersemangat membuat sejarah. Tapi kali ini, bukan hal hakiki. Hanya menyangkut pembagian tahun akademik dari dua semester menjadi trimester. Melalui sebuah Surat Keputusan, Rektor (katakanlah bernama X) di PTS tersebut menetapkan Peraturan Penyelenggaraan Kegiatan Akademik Dalam Sistem Kredit Semester, seluruh fakultas diwajibkan untuk menerapkan model tersebut mulai tahun akademik 2012/2013. 

Sebelumnya, hanya 21,4 % dari seluruh fakultas di PTS itu yang menerapkan trimester. Yang 78,6%, menerapakan pembagian tahun akademik atas dua semester pertahun seperti di PTN-PTS lain di Indonesia.
Keinginan Rektor X itu sebetulnya sudah dilontarkan lama. Sejak ia menjadi Rektor periode sebelumnya yang sempat diselingi satu periode oleh Rektor lain. Sayangnya beliau gagal meyakinkan Dirjend Dikti  dan Kopertis tempatnya bernaung. Al hasil, gagasan itu ditolak. Malahan setelah ia turun dari jabatan Rektor, PTS bersangkutan pernah ditegur oleh Dirend Dikti dan Koordinator Kopertis.

Illustrasi, sumber : http://ma1annuqayah.sch.id/berita-205-inovasi-pendidikan.html
Di kampus itu, sistem tersebut sempat menimbulkan kisruh. Gelombang protes mahasiswa sempat mewarnai kampus selama beberapa tahun. Tentu, mengganggu perkuliahan. Maka, Rektor sesudahnya (katakanlah bernama Y),  mau tidak mau menempuh jalan kompromi. Tiap fakultas boleh memilih model dua semester atau trisemester. Hasilnya, ya, itu tadi. Lebih banyak yang memilih semesteran.  Tapi ini tidak dilaporkan kepada Dirjend Dikti atau Kopertis. Yang dilaporkan, juga kalau ada tim akreditasi, adalah bahwa PTS tersebut sudah kembali menerapkan model semesteran.

Tidak Terang-terangan

Koordinator Kopertis sebenarnya sudah tahu. Namun, karena pertimbangan resiko bagi lembaga dan mahasiswa, Koordinator Kopertis pura-pura tidak tahu seraya tetap mengingatkan PTS bersangkutan agar segera kembali menerapkan sistem semesteran. Tapi, peringatan tersebut tidak dihiraukan.  Terutama setelah Rektornya kembali dijabat X. Beliau yakin bahwa gagasan trimester tidak melanggar hukum. Lebih-lebih setelah terbitnya PP No 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Rektor X kian yakin bahwa model trimester sudah memiliki payung hukum.

Herannya, model itu tidak terang-terangan ditulis dalam peraturan akademik. Secara malu-malu dibungkus rapi dengan mengakali istilah “semester antara” dalam PP. Caranya? Tahun akademik ditulis terdiri atas dua semester yaitu semester genap dan gasal. Namun, dalam kalender akademik, jadwal registrasi mata kuliah, dan jadwal pembayaran uang kuliah mahasiswa, wajah yang muncul adalah trimester dengan predikat semester gasal, semester genap, dan semester antara. Waktu tatap muka ketiganya dipukul-rata 14 minggu dan banyaknya beban studi mahasiswa tiap trimester dipatok antara 12-18 SKS.

Bercermin pada ketentuan PP No 17, tahun akademik di PTS itu tampak aneh. Ayat (2) pasal 87 menyatakan, “Tahun akademik dibagi dalam 2 (dua) semester yaitu semester gasal dan semester genap yang masing-masing terdiri atas 14 (empat belas) sampai 16 (enam belas) minggu.” Kata “yaitu” (dari kata ya+itu) dalam ayat ini jelas merupakan penegasan bahwa satu tahun akademik hanya ada dua semester (1 semester= 6 bulan).

Illustrasi, sumber : http://www.smartnewz.info/2012/03/6-ciri-orang-yang-tidak-pede.html
Ayat (3) menyatakan, “Di antara semester genap dan semester gasal, perguruan tinggi dapat menyelenggarakan semester antara untuk remediasi, pengayaan, atau percepatan.” Kata “dapat” dalam rumusan ini mengandung dua makna. Satu, semester antara tersebut tidak diwajibkan. Sifatnya opsional. Ia boleh diadakan, boleh juga tidak. Dua, jika diadakan, maka tujuan pelaksanaannya, ya, optional juga. Bisa untuk remediasi saja bagi mahasiswa yang mengulang satu-dua mata kuliah yang bernilai jelek pada semester sebelumnya. Bisa untuk pengayaan bagi mahasiswa yang mau memerdalam ilmunya. Atau bisa untuk percepatan bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dengan mengambil satu-dua atau lebih mata kuliah.  Jadi, semester antara tidaklah sama dengan semester genap dan gasal. Ia hanya perlu diadakan bagi mahasiswa yang butuh remidiasi, atau pengayaan, atau percepatan. Di PTN dan PTS lain, hal itu dikenal dengan semester pendek.

Argumen hukumnya ialah jika makna istilah semester gasal = semester genap = semester antara, maka rumusan ayat (2) tidak begitu. Rumusan yang pas adalah: “Tahun akademik dibagi 3 (tiga) semester yaitu semester gasal, semester genap, dan semester antara”.  Nyatanya tidak demikian. Pembuat PP paham bahwa waktu setahun hanyalah 12 bulan. Argumen ini diperkuat oleh ketentuan ayat (4) pasal 87 PP No 17: “Ketentuan lebih lanjut mengenai semester antara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri” (Permen).

Ini artinya “semester antara” memang memiliki makna khusus, sehinga perlu diatur lebih lanjut dengan PerMen. Dengan kata lain, sebelum ada PerMen, ketentuan ayat (3) tersebut belum dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu, bila PT (N/S) ingin menyelenggarakannya, Rektor tak perlu memaksakan penafsiran tunggalnya sebagai kebenaran mutlak. Sebelum ada PerMen, tak patut bagi PTS memaksakan pemahaman bahwa semester antara  = semester gasal = semester genap.

Pilot Proyek

Melakukan innovasi tentu saja baik. Membuat sejarah sebagai innovator juga baik. Tapi, mengapa harus terburu-buru? Mengapa konsep innovasi tidak dimatangkan lebih dahulu? Di 21,4% fakultas tersebut di atas mungkin lebih baik dijadikan pilot proyek dulu. Lalu dalam kurun waktu tertentu dievaluasi, diperbaiki yang kurang dan disempurnakan yang sudah baik. Hasil evaluasi nantinya dipakai untuk  mematangkan konsep lewat seminar yang melibatkan para ahli pendidikan.

Tanpa proses semacam itu, saya tidak melihat hal esensial dalam trimester. Teman saya bilang, identik dengan kebiasaan makan saja. Ada orang yang suka makan dua kali dalam sehari dengan porsi jumbo dan ada yang suka makan tiga kali denga porsi lebih kecil. Hasil akhirnya sama. Dua kali atau tiga kali makan dalam sehari tidak mengubah kualitas makanan yang dimakan. Juga tidak meningkatkan kualitas orang yang makan.
Kalau mau dikenal sebagai innovator, dicatatkan diri dalam sejarah, lebih terpuji jika dilakukan dengan cara-cara wajar. Yakinkanlah dunia akademik melalui tulisan dan seminar. Tunjukkan keunggulan proses pelaksanaanya di 21,4% fakultas yang sudah melaksanakannya. Cara seperti inilah yang sesuai dengan dunia akademik yang lebih patut daripada cara-cara militer dengan sistem komando.

Illustrasi, sumber: http://admissions.umm.ac.id/id/Informasi%20Umum-Tentang%20UMM-Penelitian%20dan%20Pengabdian.html
Dunia akademik memang beda dari dunia militer. Perbedaan pendapat di dunia akademik adalah wajar dan dihargai. Sebelum sebuah innovasi diterima, mungkin ia menjadi bahan perdebatan panjang yang melelahkan. Bahkan kecaman dan cemoohan. Baik secara lisan maupun tertulis. Tapi innovator sejati tidak mudah menyerah, putus asa, apalagi kalap.

Mahasiswa Diajak Tarung

Contoh sikap kalap ialah respon seorang pejabat struktural di PTS tersebut ketika menghadapi protes mahasiswa pada bulan Agustus 2012. Mahasiswa protes karena dinilai tidak sesuai dengan program studi mereka. Menanggapi protes mahasiswa, pejabat itu bilang, “Ini sudah menjadi keputusan rapat pimpinan. Kalau ada yang memermasalahkan secara hukum, kami siap 100 persen. Kalau merasa ini ilegal, kami siap menghadapi di pengadilan sekalipun,” tegasnya tanpa malu menantang mahasiswanya.

"Ini sudah menjadi keputusan rapat pimpinan. Kalau ada yang memermasalahkan secara hukum, kami siap 100 persen. Kalau merasa ini ilegal, kami siap menghadapi di pengadilan sekalipun"

Respon tersebut jelas janggal dalam dunia akademik. Protes seharusnya ditanggapi dengan argumen ilmiah. Proters terhadap peraturan akademik seharusnya direspon dengan paparan dan penalaran. “Senjata” untuk memenangkan ide seharusnya kajian ilmiah dengan dukungan bukti empirik. Bukan dengan mengajak mahasiswa berkonflik atau tarung di pengadilan, Sebab dosen bukan preman pasar.  Lagi pula, itu tak mendidik. Respon itu tak lebih dari unjuk arogansi kuasa.

Menanggapi cara penanganan protes tersebut, banyak alumni dari PTS bersangkutan kaget. Mereka katakan bahwa lembaga mereka itu dulu dikenal sangat demokratis. Sangat menghargai perbedaan pendapat. Tapi, sekarang malah memasung perbedaan pendapat, membunuh demokrasi. Para pejabatnya serem-serem. Lebih cocok disebut militer daripada dosen. Orang yang berbeda pendapat dianggap musuh. Cara berpikir yang dikonstruksi mirip doktrin militer yang hanya membagi manusia atas dua kategori : kawan dan lawan!

Saya jadi bertanyatanya, ada apa dengan para  pejabat di PTS tersebut? Hal yang kulit-kulit kok dijadikan pokok, sementara yang pokok tidak disentuh?

Artikel terkait:

4 komentar:

Rachel Fitria Lay mengatakan...

hehe nanti saya buat tulisan untuk masalah ini juga dhe om...

Yosafati Gulo mengatakan...

Sipppp, saya tunggu tulisannya.

Unknown mengatakan...

Topik yg dibahas di atas udah byk kali di diskusikan di dunia nyata maupun dunia maya. Kita bisa melacaknya dgn men-search kata “trimester dan semester di universitas” di mesin pencari OM GOOGLE. Tapi jgn salah masukin kata loh,,, sbb kalo yg kita masukan adl kata ‘trisemester’, maka jgn kaget bila yg muncul adl info-info trimester bagi ibu hamil (he,,he,,). Jadi, dlm ksempatan yg singkat dan tempat yg terbatas ini, sy mencoba membaca topik atau masalah di atas, dari KACA MATA “Hukum Yang Pertama dan Utama” dan “Hukum Yang Kedua Yang Sama Dengan Itu”. Dua ungkapan di atas pernah diutarakan o/ Yesus dlm kitab suci umat kristiani. Poin yg mau sy sampaikan bhw hukum yg pertama dan utama itu mengatur hubungan kita (manusia) dgn ‘Yang Di Atas’ (atau Yang Ilahi), sedangkan hukum kedua yang sama dengan itu mengatur hubungan kita (manusia) dgn sesama. Dgn kata lain, hukum yg pertama itu bersifat VERTIKAL, sedangkan hukum yg kedua itu bersifat HORISONTAL.

Di sinilah menurut sy terletak 2 pokok utama persoalan dari penyenggaran sistem trimester, atau semester antara, atau semester pendek, atau apapun nama yg mau diberikan. Pokok persoalan yg “Yang Pertama dan Utama” adl tdk adanya kejelasan dari ‘yang di atas’ (baca: pemerintah, dhi. MENDIKNAS) untuk segera mengeluarkan PERMEN, sbagaimana yg diperintahkan o/ PP no 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan semester antara, yakni pada paragraph 4 : Sistem Kredit Semester, Pasal 87, ayat 1 – 4 (sumber : http://www.djpp.depkumham.go.id ). Selama PERMEN ttg semester antara tdk segera diterbitkan, mk terbuka peluang bagi adanya pihak2 tertentu u/ “bermain” pada celah hukum yg terbuka tersebut. Lebih parah lagi, pemerintah (di pusat dan di daerah) yg sudah tahu adanya permainan tsb tidak berani mengambil sikap tegas scr kongkrit dan nyata/kelihatan. Tidak seperti sekarang yg hanya bersurat doang bhw melarang sistem tsb, atau menyampaikan persetujuan atas sistem tsb scr lisan (lewat kata si-A, kata si-B, dstnya).

Dalam bahasa yg lebih popular, entah kita sadar atau tidak, pemerintah sbenarnya sedang melakukan TINDAKAN PEMBIARAN atas ketidakjelasan yg ada. Pola tindakan pembiaran semacam ini bukan baru pertama kali dilakukan o/ pemerintah. Bukan jg pd 1 atau 2 kasus saja, tetapi udah terjadi di dalam byk sekali kasus, bahkan korban yg berjatuhan juga sudah byk, baik scr materi maupun non-materi. Satu contoh yg sgt popular dlm ketidaktegas dan ketidakjelasan sikap pemerintah adl dlm kasus BAJEM GKI TAMAN YASMIN. Jadi bila ada yg menggugat sikap pemerintah ttg semester antara scr hukum ke Mahkamah Agung (MA), sy sgt mendukungnya, sperti yg bisa kita lihat dlm info perkara di MA Permohonan uji materi ke MA, telah diregister dengan nomor 37 P/HUM/Th.2010, tanggal 30 Agustus 2012 (sumbernya= http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/index.php?txtRegister=37+P&txtPengadilan=&txtPihak=universitas+kristen+satya+wacana&txtJenisPerkara=&txtSuratPengantar=&txtPutusanGuid=&cmdSearch=Cari). Dgn catatan eksekusinya juga hrs jelas dan tegas. Tidak sprti kasus TAMAN YASMIN... :) Jadi pokok masalah “Yang Pertama dan Utama” adl menyangkut hal yg bersifat vertikal, ke atas! (BERSAMBUNG)

Unknown mengatakan...

Sedangkan, pokok masalah “Yang Kedua Yang Sama Dengan Itu” adl menyangkut hal-hal yg bersifat horizontal. Hal ini tlh coba disinggung dlm artikel di atas. Dlm bahasa koran, kita dpt bertanya knp seseorang pmimpin itu memakai “gaya seorang koboi” sperti yg dipertunjukan o/ Dahlan Iskan (yg kemudian menuai pro-kontra) hingga akhirnya diapun ‘tersandung’ dlm konfliknya dgn DPR RI, namun dia brani akui kesalahannya dan minta maaf. Bukankah ada “gaya seorang gembala” dlm bahasa pemazmur, yg juga bisa digunakan o/ seorang pemimpin, tanpa hrs menimbulkan kontroversi di mana-mana & mencederai relasi horizontal dgn sesama? Menurut sy, seharusnya kita mencari tahu, knp dahulu pada saat pemberlakukan sistem semester bs berjalan mulus (sekalipun pemerintah blm scr eksplisit mengatur hal tsb)? Sedangkan knp skarang ini kok penuh dgn gejolak di sana-sini sehingga hrs ada tindakan2 yg keras. Ini pokok masalah “Yang Kedua Yang Sama Dengan Itu” yg hrs benar-benar digali ‘akar masalah’-nya dgn penuh kecerdasan manusiawi dan hikmat ilahi. Jangan-jangan, pemerintah sedang menjadikan universitas yg sdg bersitegang tsb sebagai KELINCI PERCOBAAN u/ proses uji coba, manakah yg lebih tepat yakni memakai sistem trimester atau semester dlm pendidikan tinggi di negeri ini. Lebih parah lagi bila civitas yg ada di kampus tsb tdk menyadari akan hal itu. Kiranya Tuhan memberikan pencerahan ilahi kpd smua yang terlibat di dlm nya. Wasalam.