Sabtu, 16 Februari 2013

Anggota Legislatif di Negara Antah Brantah


Oleh Yosafati Gulo


Di sebuah Negara antah brantah, ada segerombolan lagislatif yang tidak puas pada sebuah UU yang baru mereka setujui secara aklamatif tentang  Ketentuan Pemilihan Presiden di Negara itu. Setelah keluar ruang sidang, satu persatu mengirimkan surat kepada Presiden yang isinya melarang Presiden menjalankan apa yang diatur dalam UU.

Gayung pun bersambut. Sang Presiden segera mengirim surat kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Negeri. Isinya meminta semua bawahannya agar tidak menjalankan UU yang baru di wilayahnya masing-masing.

Legislatif lain dan sebagian besar penduduk negeri heran. Mereka tak habis pikir mengapa Presidennya yang selalu menganjurkan rakyat taat hukum tiba-tiba menyuruh penduduk negeri melawan hukum. Mereka kuatir kalau-kalau Sang Presiden sedang sakit kesadaran.
***
Seperti biasanya, para ilmuwan di negara itu tetap tenang. Mereka terus putar otak. Oww, bukan putar otak, tapi berpikir he he. Banyak ilmuwan di seantero negeri memutuskan tak mau terjebak dalam cerita-cerita gosip dan tahayul. Mereka melakukan penelitian.

Dengan mengamati gejala, mereka berhipotesis bahwa “otak” dari semua itu ternyata Sang Presiden sendiri. Dengan memosisikan diri seperti dizholimi ia mengakali anggota legislatif yang lugu-lugu itu dengan membuat cerita-cerita aneh. Ia mencitrakan dirinya sebagai orang yang dipojokkan. Sebagai orang yang sangat peduli rakyat, penjaga Negeri sejati. Di sisi lain, ia mengkonstruksi citra anggota Legislatif yang memertahankan UU dengan citra buruk dan seram.

Ia selalu bilang, “Mereka itu tidak cinta Negara, bangsa, dan Tanah Air. Mereka bukan penduduk asli. Mereka sebetulnya bangsa lain yang dinaturalisasi. Sudah pasti mereka tidak suka kalau Negara kita maju,”  turutnya kepada penduduk.

Sumber : http://img38.imageshack.us/img38/826/bebek1o.jpg
 Dengan alasan itu, anggota legislatif yang diakali itu pun manggut-manggut. Ia lalu membuat skenario. “Supaya tidak ketahuan, kalian perlu segera mengirimkan surat kepada saya, yang isinya melarang saya sebagai Presiden mejalankan UU,” bujuknya. Legislatif lugu-lugu itu pun setuju. Mereka mengirimkan surat, yang ternyata sudah disiapkan oleh Presiden. Mereka pun makin bersemangat. Sebab mereka tak perlu repot-repot. Tinggal masukkan di amplop dan kirim. Untuk mempercepat, malahan mereka kirim juga pakai fax ke alamat Presiden. Mereka tidak sadar, atau mungkin ogah sadar, bahwa mereka dijadikan tumbal.
***
Para ilmuwan yang terbiasa meneliti di seantero negeri ternyata tidak berhenti di situ. Mereka terus menyelidiki mengapa ada anggota legislatif tiba-tiba berubah. Mereka sangat heran karena pada tahun-tahun sebelumnya beberapa dari anggota legislatif itu sangat kritis terhadap kelakuan Presiden yang suka memelintir pernyataan-pernyataannya. Tapi kini, malahan tak jauh beda dari sekawanan bebek yang begitu mudah digiring.

Sebagai ilmuwan, mereka terus mengamati gejala. Mereka kemudian tahu bahwa anak-anak dari angggota legislatif itu ternyata telah diberikan banyak kemudahan oleh Presiden dan para Menteri untuk urusan-urusan kemasyarakatan. Beberapa diberi beasiswa. Beberapa dijanjikan studi lanjut gratis kelak. Anggota legislatif itu pun sering ditraktir makan malam atau dibiayai untuk berbagai urusan oleh Presiden dengan menggunakan uang Negara non budgeter.

Dari data itu beberapa ilmuwan merumuskan hipotesis: “Adanya korelasi positif antara kemudahan yang diberikan Presiden kepada anak-anak dengan sikap orang tua mereka.” Ada yang merumuskan tema penelitian, “Pengaruh gratifikasi dalam pola tingkah laku legislatif.” Yang lain membuat judul makalah, “Manajemen gula-gula dalam mengikat hati konsumen.” Dan banyak lagi. Pokoknya menarik.
***
Anggota Partai Politik pun tak mau ketinggalan. Banyak di antaranya melakukan spekulasi-spekulasi politik. Ada yang memprediksi bahwa tujuan Sang Presiden adalah ingin memperpanjang jabatannya. Tapi ia kesulitan menempuh jalur normal. Maka dengan kepiawaiannya mengelola psikologi massa, ia bisa mengubah logika beberapa anggota legislatif dan sebagian penduduk.

Tapi ada yang bilang, bukan itu. Target akhir bukan sekadar jabatan. Ia mengincar terbentunya legislatif boneka. “Model Engkong Suharto dulu di Negara Indonesia,” kilah seorang anggota Partai. “Semua orang yang tidak tunduk, ia singkirkan dari jajaran legislatif. Dengan begitu, ia kelak bisa buat apa saja yang dia mau. Lagislatif, ia jadikan sekedar lembaga stempel,” tutur seorang politikus.  Yang diicarnya adalah jabatan Raja yang Presiden atau Presiden yang Raja di Raja. Oh bukan main!

http://www.carakomplit.com/wp-content/themes/indoportal/scripts/timthumb.php?src=http://www.carakomplit.com/wp-content/uploads/2012/12/Cara-Mengajari-Burung-Beo-Berbicara.jpg&w=300&h=200&zc=2&q=90
Sumber:http://www.carakomplit.com/wp-content/themes/indoportal/scripts/timthumb.php?src=http://www.carakomplit.com/wp-content/uploads/2012/12/Cara-Mengajari-Burung-Beo-Berbicara.jpg&w=300&h=200&zc=2&q=90
Di jajaran Menteri, walaupun pendidikannya tinggi-tinggi, ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Mirip burung Beo. Kalau bersuara, nadanya datar. Nyanyi mereka semua  bernada la la la. Nalar mereka tak berkembang. Berhasil dibonsai oleh Sang Presiden. Ucapan-ucapan mereka tidak lain, “Yes Mr. Presiden! You are the only-special one. No one the truth, except you.”

Dalam hati, mereka sebenarnya tidak setuju. Tapi takut disingkirkan oleh Presiden seperti beberapa Menteri yang berani kritis. Tak mau kehilangan banyak hal. Ya fasilitas, ya kesempatan berpergian ke luar negeri, ya insentif uang, dll. Maka sekalipun hatinya protes, mereka tetap jadi “anak mama”. Bagi mereka, kebutuhan lahiriah ternyata  mengalahkan hati nurani he he.
***
Belum tahu apa yang akan terjadi. Hanya sekelumit berita dari jejaring sosial. Salah seorang anggota legislatif sedang berperang opini dengan banyak penduduk negeri yang kritis. Si legislatif tak malu-malu mengkalim diri bertindak sangat objektif. UU sendiri buatannya dia katakan bermasalah. Dia juga menuduh yang berseberangan dengannya sudah dicekoki informasi yang salah. Dia gagal sadar bahwa dirinya bukan cuma dicekoki, tapi malahan diakali, diperalat ha ha ha ha ha....

Dengan arogan ia hantam kanan-kiri. Kata-katanya sering ngawur. Tapi ia tak peduli. Belakangan ini konstituen mulai memertanyakan kapasitasnya  sebagai wakil rakyat. Ada pula yang berencana me-recall. Apakah rencana itu terjadi? Mari kita tunggu saja.

9 komentar:

Rachel Fitria Lay mengatakan...

negara mana tu om? hahaha....
ada gitu negara ntah berantah :P

Yosafati Gulo mengatakan...

Ya, itu amanya Negara Antah Brantah. Lokasinya, wah caya cari di google earth dulu. Tapi kayaknya tidak jauh-jauh dari Negara Tetangga ha ha :))

Yosafati Gulo mengatakan...

Ralat: tertulis >> amanya. Seharusnya >> namanya.

Anonim mengatakan...

baca juga di http://awidyarso65.wordpress.com .....

Yosafati Gulo mengatakan...

Saya udah lihat webnya. Tulisa mana yang ada kaitannya dengan tulisan di atas. Saya belum ketemu tuh.

Anonim mengatakan...

Wah, kok gitu ya. Pdhal saya juga termasuk rakyat negeri tah berantah lho. What shall I do?

Yosafati Gulo mengatakan...

Kalau menurut saya, ada setidaknya dua hal yang perlu. Pertama, jadilah warga negara yang kritis terhadap tindakan Presiden maupun anggota legislatif. Juga terhadap sikap sesama warga negara. Yang saya maksud kritis di sini adalah kalau ada informasi dari satu atau sekelompok orang yang nadanya sama, jangan percaya begitu saja. Anda perlu skeptis. Perlu cek dan recek informasi itu kepada pihak lain yang berbeda. Dan akan lebih baik lagi kalau bisa menemukan fakta. Bagi saya, kalau mau mengambil sikap yang tepat kumpulkanlah infomasi sebanyak-banyaknya tanpa melihat muka orang. Informasi dapat diperoleh dari siapa saja. Jangan membatasi diri untuk hanya mau mendapatkan informasi dari orang yang sependapat dengan Anda saja. Kata para peneliti, semakin banyak informasi, data, dan fakta, akan lebih baik bagi pengambilan kesimpulan yang lebih objektif.

Kedua, sebagai warga negara yang baik saya sarankan Anda lebih mengutamakan keselamatan negara daripada keselamatan pribadi Presiden atau anggota legislatif. Dengan terselamatkannya negara, besar kemungkinan Presiden, anggota legislatif, dan warga negara secara keseluruhan terselamatkan juga. Kalau Anda hanya mencari pembenaran untuk menyelamatkan Presiden dan/atau anggota legislatif yang menjadi "bonekanya", menurut saya Anda bisa salah. Anda bisa terjerumus pada cara berpikir sempit he he

Menyelamatkan Negara tidak harus berarti mengorbankan Presiden dan anggota legislatif "bonekanya" lho ya. Sebab, kalau itu yang dilakukan semua orang juga bisa. Pake tangan besi kan bisa. Atau main premanisme saja. Tapi sebagai warga Negara yang baik, tentu Anda tidak melakukan itu, bukan?

Untuk itu sangat perlu adanya the third way ala Stephen R. Covey. Ini memang tidak mudah. Tapi bisa dilakukan. Syaratnya utamanya ialah adanya dialog yang jujur dalam semangat kebersamaan. Hehehe sorry terlalu banyak ngomong.

Unknown mengatakan...

Sebagaimana “aristokrasi” adl pemerintahan oleh para ‘aristokrat’, begitu pula dgn “demokrasi” adl pemerintahan oleh ‘demos’. Namun dlm bhs Yunani Klasik, ‘demos’ dapat berarti dua, yakni rakyat (‘people’) dan kerumunan beringas (‘mob’). Dalam pengertian kedua ini, demokrasi bisa berarti pemerintahan oleh massa yg beringas, vulgar dan tidak becus. Oleh karena itu, demokrasi tak selalu otomatis dan pasti akan mendatangkan kebaikan kepada masyarakat (org banyak).

Dgn kata lain, model demokrasi, yakni dari (‘of’) rakyat, oleh (‘by’) rakyat, dan untuk (‘for’) rakyat, dapat mendatangkan malapetaka ketika dipimpin atau dikelola oleh para ‘mob’ di atas. Pemerintahannya dpt mjd sangat otoriter dlm menindas org2 yg menentang atau berbeda dgn sang penguasa, bertindak tirani dgn memaksa kehendaknya yg hrs dilaksanakan, penuh kelicikan demi memuluskan kepentingan2 pribadi/kelompok tertentu, dan seterusnya. Contoh: mengeluarkan produk hukum yg mementingkan kelompoknya tapi merugikan kelompok yg lain (yg minoritas, misalnya) hingga tak dapat berekspresi lagi, dan menutupi kesalahan2nya lwt berbagai media/sarana yg dikuasainya demi menggiring opini publik yg menguntungkan. Oleh karena itu, demokrasi sbagai salah satu sistem bernegara dan bermasyarakat bukan tanpa cacat!

Maka pada jaman Yunani kuno, menurut Plato hal untuk mengurus pemerintahan hrs diserahkan kpd “ahlinya”, yakni orang2 yg berpengertian tinggi dan berjiwa luhur, bukan sekedar melek huruf, pandai matematika, dllsb. Sebaliknya, apabila sudah terlanjur oleh para ‘mob’, mk tidak ada yg bisa merubahnya karena demokrasi sgt menjunjung tinggi prinsip “dari-oleh-untuk rakyat”, padahal rakyat dan opini publik tlh ada dlm kendali sang penguasa, kecuali dan hanya kecuali bila dpt terjadi sebuah REVOLUSI! Padahal hal ini tidak gampang dan butuh waktu yg amat sangat lama. Bdk. kasus Engkong Soeharto yg butuh 32thn untuk dapat me-lengser-kannya. Bahkan hingga kini byk kasus korupsi dan penindasan (baca: pelanggaran HAM) yg ikut “dikuburkan” seiring dikuburkannya jenazah ybs.

Unknown mengatakan...

Selanjutnya mengenai sosok para anggota legislatif dan para menteri, menurutku dpt dikelompokkan ke dlm beberapa kategori, seperti: (1) yg memiliki masa lalu yg bermasalah {misalnya: kena kasus, terbuang, tersingkir, dllsb}, maka sang penguasa akan “dipandang” sbagai sang penolong sejati, sosok juru selamat; (2) yang pernah diloloskan dari kesulitan2 yg maha berat {misalnya: kedapatan mencuri uang negara, kedapatan selingkuh atau ketahuan miras/narkoba} maka sang penguasa akan “dipandang” sbagai sang pelindung; dan (3) yang pernah diberi fasilitas ato kemudahan untuk masa depan yg lebih baik {misalnya: dlm hal beasiswa, cari pekerjaan, pengunaan fasilitas negara, dllsb}, maka sang penguasa akan “dipandang” sbagai sosok yang maha kuasa. Pokoknya profil sang penguasa bak “manusia setengah dewa” {sperti lagunya Iwan Fals}. Pandangan2 sperti ini dipastikan akan menentukan sikap para legislator/menteri dlm byk hal, paling tidak selama sang penguasa itu masih memerintah ato menjabat.

Namun demikian, dalam byk kasus, ketika sang penguasa sudah ‘lengser’ maka para legislator/menteri dgn mudahnya berpindah posisi, tdk mau lagi dibawah kendali ybs, bahkan ada yg mulai dgn berani menentang beliau scr terbuka. Itulah yg biasa disebut dgn kaum opurtunis! Apalagi bila suatu waktu beliau meninggal dunia, para opurtunis akan merasa betul2 bebas dan MERDEKA. Kita tdk bisa kita menyalahkan mereka 100%, karena bukankah ada postulat bhw tidak kawan ato lawan yg ada abadi dlm berpolitik?! Yang lebih berbahaya adl ketika para opurtunis itu terpecah belah dan berlomba2 untuk membuka aib masa lalu, demi untuk mendapat belas kasihan dan/atau posisi baru dari rejim berikutnya.

Berbeda dgn kaum loyalis! Sekalipun langit runtuh, dunia kiamat, sang penguasa tetaplah yg terbaik, terunggul dan tak akan ada cacat cela, noda hina, pada sejarah hidupnya, hingga dia telah tiada sekalipun. Mereka akan menjadi pembelanya mati-matian, di dunia nyata maupun di dunia maya, bahkan hingga ke dunia akhirat bila diijinkan oleh Yang Ilahi…. (he,,he,,). Bdk. para loyalis Anas Urbaningrum yg ikut membela Anas dgn rela mundur dari Partai Demokrat, setelah Anas tdk lagi menjabat sebagai KETUM. Jadi kita lihat dan tunggu saja,,, hingga waktulah yg berbicara dan sejarah akan mencatat semuanya itu, seperti apa sikap para legislator/menteri itu saat semua masa jaya sang penguasa telah berlalu. Menjadi seorang opurtunis atukah seorang loyalis? Salam.