Oleh Yosafati Gulo
Apa hubungannya Banjir dan Lady Gaga? Ya, banyak banget. Lady
Gaga dan banjir suka kebebasan. Mau mengekpresikan dirinya seutuhnya. Termasuk
telanjang. Dan banjir memang telanjang. Cuma, Lady Gaga tidak pernah suka
banjir kalau mau show. Oh ya, sehari-hari juga begitu. Ia tak suka banjir kalau
bepergian pakai kendaraan darat. Sama dengan kita di Indonesia. Apalagi sodara-sodara
sebangsa dan setanah air kita di Jakarta saat ini.
Illustrasi. Sumber gambar: http://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-kerahkan-ribuan-personel-atasi-banjir-jakarta.html |
Kalau begitu, apa bedanya kita dengan Lady Gaga? Oh tentu
saja banyak. Sulit dihitung? Persamaannya? Juga banyak. Di antaranya, Lady Gaga
dan kita, sama-sama tidak suka banjir. Apalagi kebanjiran. Lady Gaga tidak suka
dicekal. Kita? Ya sama, tidak suka juga. Apa hanya kita dan Lady Gaga yang
tidak suka dicekal? Oh tidak. Semuanya saja tidak suka. Jangankan manusia,
ayam, kambing, tikus, dan binatang apa pun tak suka dicekal. Sama seperti
banjir!
Jika begitu, mengapa di antara kita ada yang memupuk hobi
mencekal? Padahal kalau si pencekal itu dicekal, ia juga tak mau. Alasan
budaya? Budaya yang mana? Lady Gaga kita anggap tidak sopan dan merusak budaya
kita? Budaya siapa, budaya apa? Goyangannya di panggung kita nilai jorok?
Apanya yang jorok? Bagaimana dengan goyang dangdut model bor dan gergaji? Apa
itu sopan atau jorok? Nampaknya semua relatif. Mau dibilang jorok ya bisa. Tentu
kalau otak kita lagi mikir hal-hal jorok. Sebaliknya, kita bisa bilang indah, kalau
pikiran kita lagi bersih.
Tidak Pilih Bulu
Banjir, jelas tidak baik. Tapi tidak melulu begitu. Ada sisi
baiknya juga. Ya, sama seperi benacana alam apa pun. Banjir ternyata mampu
menggelitik kemanusiaan kita. Dengan adanya banjir, kita yang semula selalu
“menghitung” dan memertentangkan perbedaan beralih melihatnya sebagai kekuatan
yang menghidupkan.
Banjir memaksa kita untuk faham bahwa kita dan manusia lain
ternyata sama. Sama-sama butuh nyaman, butuh perlindungan, butuh hidup. Lagi
pula, banjir tidak pilih bulu. Siapa saja ia hantam. Ia tak tidak tanya anda
dan saya dari etnis apa dan agama apa atau tak puya agama sekalipun. Ia juga
tak mau tahu bentuk mata bulat atau sipit, rambut lurus atau keriting. Siapa
saja ia babat.
Sumber gambar : http://www.merdeka.com/uang/bkpm-banjir-jakarta-tidak-seperti-thailand.html |
Banjir ternyata menggerakkan kemanusiaan kita yang terdalam.
Ia Mampu mengubah sikap kita yang jelek, walaupun hanya sementara. Yang
sebelumnya rajin menonjolkan primordialisme, ternyata mengerem diri. Tidak lagi
menanyakan siapa, dari suku apa, agamanya apa? Melihat sesama dihempas banjir,
spontan kita tolong. Juga terhadap bantuan. Kita tidak tanya, apakah itu dari
kafir atau dari orang beriman. Apakah dari Partai A atau B. Dari suku C atau D.
Kita ternyata menerima anggapan bahwa hidup lebih penting daripada aspek
penompang hidup.
Mengapa begitu? Tentu saja banyak jawabnya. Tapi yang inti
menurut saya ialah karena dalam diri kita selalu ada keadaran bahwa hidup
adalah yang inti. Karena itu selalu ada keinginan dan kebutuhan menghargai
hidup. Ya hidup kita sendiri, ya orang lain. Itulah sebabnya kita tergerak
menolong dan tak menolak ditolong. Nampaknya, itulah sikap yang benar. Sebab,
banjir sendiri tidak pandang bulu, bukan?
Ajaran Banjir
Lha, kalau banjir saja tidak pilih-pilih, mengapa kita
makhluk berakal sering lebih bodoh daripada banjir? Nampaknya, pelajaran yang
diajarkan banjir itu perlu kita camkan. Kita perlu membuka hati untuk lebih
menghargai hidup, menghormati keberbagaian daripada rupa-rupa eksterior yang
sifatnya hanya memerlengkapi hidup.
Sumber gambar : http://www.dapurpacu.com/foto-foto-banjir-di-mh-thamrin-jakarta/jakarta_banjir_januari_2013_14/ |
Agama umpamanya. Apakah agama lebih penting daripada hidup?
Bagi saya, hidup adalah yang inti. Agama adalah aspek eksterior. Ia hadir untuk
menolong manusia dalam memerlengkapi hidup, menyempurnaan hidup. Baik “si sini”
maupun “di sana”. Sebab kalau semua manusia sudah mati, apakah agama perlu?
Untuk siapa? Untuk apa? Oleh karena itu, tidaklah bijak kalau kita lebih
memetingkan agama kalau ia merusak hidup.
Demikian juga etnis. Benar bahwa entis adalah aspek yang
melekat pada diri manusia. Ia hadir bersamaan dengan hadirnya manusia di bumi. Tapi
mana yang lebih penting, hidup itu sendiri atau etnis? Bagi saya, ya hidup.
Saya tak peduli hidup saya dan Anda dari etnis mana. Sebab saya dan Anda tidak
dapat memilih lahir dari etnis mana pun. Oleh karena itu, yang penting bagi
saya adalah Anda dan saya sama-sama butuh hidup.
Karena sama-sama butuh hidup, maka sudah sepantasnya
kita saling mendukung, bukan saling menjegal. Kita perlu saling menolong dan
memfasilitasi, bukan saling menghambat. Kita perlu menghargai pluralitas,
karena pluralitas adalah khasnya kehidupan. Ia merupakan eksterior hidup yang
memberi kekuatan bagi hidup. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar