Oleh Yosafati Gulo
Di sebuah Negara antah brantah, ada segerombolan lagislatif
yang tidak puas pada sebuah UU yang baru mereka setujui secara aklamatif
tentang Ketentuan Pemilihan Presiden di
Negara itu. Setelah keluar ruang sidang, satu persatu mengirimkan surat kepada
Presiden yang isinya melarang Presiden menjalankan apa yang diatur dalam UU.
Gayung pun bersambut. Sang Presiden segera mengirim surat
kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Negeri. Isinya meminta
semua bawahannya agar tidak menjalankan UU yang baru di wilayahnya
masing-masing.
Legislatif lain dan sebagian besar penduduk negeri heran. Mereka
tak habis pikir mengapa Presidennya yang selalu menganjurkan rakyat taat hukum
tiba-tiba menyuruh penduduk negeri melawan hukum. Mereka kuatir kalau-kalau Sang
Presiden sedang sakit kesadaran.
***
Seperti biasanya, para ilmuwan di negara itu tetap tenang.
Mereka terus putar otak. Oww, bukan putar otak, tapi berpikir he he. Banyak
ilmuwan di seantero negeri memutuskan tak mau terjebak dalam cerita-cerita gosip
dan tahayul. Mereka melakukan penelitian.
Dengan mengamati gejala, mereka berhipotesis bahwa “otak”
dari semua itu ternyata Sang Presiden sendiri. Dengan memosisikan diri seperti
dizholimi ia mengakali anggota legislatif yang lugu-lugu itu dengan membuat
cerita-cerita aneh. Ia mencitrakan dirinya sebagai orang yang dipojokkan.
Sebagai orang yang sangat peduli rakyat, penjaga Negeri sejati. Di sisi lain, ia
mengkonstruksi citra anggota Legislatif yang memertahankan UU dengan citra
buruk dan seram.
Ia selalu bilang, “Mereka itu tidak cinta Negara, bangsa,
dan Tanah Air. Mereka bukan penduduk asli. Mereka sebetulnya bangsa lain yang dinaturalisasi.
Sudah pasti mereka tidak suka kalau Negara kita maju,” turutnya kepada penduduk.
Sumber : http://img38.imageshack.us/img38/826/bebek1o.jpg |
Dengan alasan itu, anggota legislatif yang diakali itu pun
manggut-manggut. Ia lalu membuat skenario. “Supaya tidak ketahuan, kalian perlu
segera mengirimkan surat kepada saya, yang isinya melarang saya sebagai Presiden
mejalankan UU,” bujuknya. Legislatif lugu-lugu itu pun setuju. Mereka
mengirimkan surat, yang ternyata sudah disiapkan oleh Presiden. Mereka pun
makin bersemangat. Sebab mereka tak perlu repot-repot. Tinggal masukkan di
amplop dan kirim. Untuk mempercepat, malahan mereka kirim juga pakai fax ke
alamat Presiden. Mereka tidak sadar, atau mungkin ogah sadar, bahwa mereka dijadikan
tumbal.
***
Para ilmuwan yang terbiasa meneliti di seantero negeri
ternyata tidak berhenti di situ. Mereka terus menyelidiki mengapa ada anggota
legislatif tiba-tiba berubah. Mereka sangat heran karena pada tahun-tahun
sebelumnya beberapa dari anggota legislatif itu sangat kritis terhadap kelakuan
Presiden yang suka memelintir pernyataan-pernyataannya. Tapi kini, malahan tak jauh
beda dari sekawanan bebek yang begitu mudah digiring.
Sebagai ilmuwan, mereka terus mengamati gejala. Mereka
kemudian tahu bahwa anak-anak dari angggota legislatif itu ternyata telah
diberikan banyak kemudahan oleh Presiden dan para Menteri untuk urusan-urusan kemasyarakatan.
Beberapa diberi beasiswa. Beberapa dijanjikan studi lanjut gratis kelak. Anggota
legislatif itu pun sering ditraktir makan malam atau dibiayai untuk berbagai
urusan oleh Presiden dengan menggunakan uang Negara non budgeter.
Dari data itu beberapa ilmuwan merumuskan hipotesis: “Adanya
korelasi positif antara kemudahan yang diberikan Presiden kepada anak-anak
dengan sikap orang tua mereka.” Ada yang merumuskan tema penelitian, “Pengaruh gratifikasi
dalam pola tingkah laku legislatif.” Yang lain membuat judul makalah, “Manajemen
gula-gula dalam mengikat hati konsumen.” Dan banyak lagi. Pokoknya menarik.
***
Anggota Partai Politik pun tak mau ketinggalan. Banyak di
antaranya melakukan spekulasi-spekulasi politik. Ada yang memprediksi
bahwa tujuan Sang Presiden adalah ingin memperpanjang jabatannya. Tapi ia
kesulitan menempuh jalur normal. Maka dengan kepiawaiannya mengelola psikologi
massa, ia bisa mengubah logika beberapa anggota legislatif dan sebagian
penduduk.
Tapi ada yang bilang, bukan itu. Target akhir bukan sekadar
jabatan. Ia mengincar terbentunya legislatif boneka. “Model Engkong Suharto
dulu di Negara Indonesia,” kilah seorang anggota Partai. “Semua orang yang
tidak tunduk, ia singkirkan dari jajaran legislatif. Dengan begitu, ia kelak
bisa buat apa saja yang dia mau. Lagislatif, ia jadikan sekedar lembaga stempel,”
tutur seorang politikus. Yang diicarnya
adalah jabatan Raja yang Presiden atau Presiden yang Raja di Raja. Oh bukan
main!
Sumber:http://www.carakomplit.com/wp-content/themes/indoportal/scripts/timthumb.php?src=http://www.carakomplit.com/wp-content/uploads/2012/12/Cara-Mengajari-Burung-Beo-Berbicara.jpg&w=300&h=200&zc=2&q=90 |
Di jajaran Menteri, walaupun pendidikannya tinggi-tinggi, ternyata
tidak bisa berbuat apa-apa. Mirip burung Beo. Kalau bersuara, nadanya datar. Nyanyi
mereka semua bernada la la la. Nalar
mereka tak berkembang. Berhasil dibonsai oleh Sang Presiden. Ucapan-ucapan
mereka tidak lain, “Yes Mr. Presiden! You are the only-special one. No one the
truth, except you.”
Dalam hati, mereka sebenarnya tidak setuju. Tapi takut disingkirkan
oleh Presiden seperti beberapa Menteri yang berani kritis. Tak mau kehilangan
banyak hal. Ya fasilitas, ya kesempatan berpergian ke luar negeri, ya insentif
uang, dll. Maka sekalipun hatinya protes, mereka tetap jadi “anak mama”. Bagi
mereka, kebutuhan lahiriah ternyata mengalahkan hati nurani he he.
***
Belum tahu apa yang akan terjadi. Hanya sekelumit berita
dari jejaring sosial. Salah seorang anggota legislatif sedang berperang opini
dengan banyak penduduk negeri yang kritis. Si legislatif tak malu-malu
mengkalim diri bertindak sangat objektif. UU sendiri buatannya dia katakan bermasalah. Dia
juga menuduh yang berseberangan dengannya sudah dicekoki informasi yang salah. Dia gagal
sadar bahwa dirinya bukan cuma dicekoki, tapi malahan diakali, diperalat ha ha ha ha ha....
Dengan arogan ia hantam kanan-kiri. Kata-katanya sering
ngawur. Tapi ia tak peduli. Belakangan ini konstituen mulai memertanyakan
kapasitasnya sebagai wakil rakyat. Ada
pula yang berencana me-recall. Apakah rencana itu terjadi? Mari kita tunggu
saja.
9 komentar:
negara mana tu om? hahaha....
ada gitu negara ntah berantah :P
Ya, itu amanya Negara Antah Brantah. Lokasinya, wah caya cari di google earth dulu. Tapi kayaknya tidak jauh-jauh dari Negara Tetangga ha ha :))
Ralat: tertulis >> amanya. Seharusnya >> namanya.
baca juga di http://awidyarso65.wordpress.com .....
Saya udah lihat webnya. Tulisa mana yang ada kaitannya dengan tulisan di atas. Saya belum ketemu tuh.
Wah, kok gitu ya. Pdhal saya juga termasuk rakyat negeri tah berantah lho. What shall I do?
Kalau menurut saya, ada setidaknya dua hal yang perlu. Pertama, jadilah warga negara yang kritis terhadap tindakan Presiden maupun anggota legislatif. Juga terhadap sikap sesama warga negara. Yang saya maksud kritis di sini adalah kalau ada informasi dari satu atau sekelompok orang yang nadanya sama, jangan percaya begitu saja. Anda perlu skeptis. Perlu cek dan recek informasi itu kepada pihak lain yang berbeda. Dan akan lebih baik lagi kalau bisa menemukan fakta. Bagi saya, kalau mau mengambil sikap yang tepat kumpulkanlah infomasi sebanyak-banyaknya tanpa melihat muka orang. Informasi dapat diperoleh dari siapa saja. Jangan membatasi diri untuk hanya mau mendapatkan informasi dari orang yang sependapat dengan Anda saja. Kata para peneliti, semakin banyak informasi, data, dan fakta, akan lebih baik bagi pengambilan kesimpulan yang lebih objektif.
Kedua, sebagai warga negara yang baik saya sarankan Anda lebih mengutamakan keselamatan negara daripada keselamatan pribadi Presiden atau anggota legislatif. Dengan terselamatkannya negara, besar kemungkinan Presiden, anggota legislatif, dan warga negara secara keseluruhan terselamatkan juga. Kalau Anda hanya mencari pembenaran untuk menyelamatkan Presiden dan/atau anggota legislatif yang menjadi "bonekanya", menurut saya Anda bisa salah. Anda bisa terjerumus pada cara berpikir sempit he he
Menyelamatkan Negara tidak harus berarti mengorbankan Presiden dan anggota legislatif "bonekanya" lho ya. Sebab, kalau itu yang dilakukan semua orang juga bisa. Pake tangan besi kan bisa. Atau main premanisme saja. Tapi sebagai warga Negara yang baik, tentu Anda tidak melakukan itu, bukan?
Untuk itu sangat perlu adanya the third way ala Stephen R. Covey. Ini memang tidak mudah. Tapi bisa dilakukan. Syaratnya utamanya ialah adanya dialog yang jujur dalam semangat kebersamaan. Hehehe sorry terlalu banyak ngomong.
Sebagaimana “aristokrasi” adl pemerintahan oleh para ‘aristokrat’, begitu pula dgn “demokrasi” adl pemerintahan oleh ‘demos’. Namun dlm bhs Yunani Klasik, ‘demos’ dapat berarti dua, yakni rakyat (‘people’) dan kerumunan beringas (‘mob’). Dalam pengertian kedua ini, demokrasi bisa berarti pemerintahan oleh massa yg beringas, vulgar dan tidak becus. Oleh karena itu, demokrasi tak selalu otomatis dan pasti akan mendatangkan kebaikan kepada masyarakat (org banyak).
Dgn kata lain, model demokrasi, yakni dari (‘of’) rakyat, oleh (‘by’) rakyat, dan untuk (‘for’) rakyat, dapat mendatangkan malapetaka ketika dipimpin atau dikelola oleh para ‘mob’ di atas. Pemerintahannya dpt mjd sangat otoriter dlm menindas org2 yg menentang atau berbeda dgn sang penguasa, bertindak tirani dgn memaksa kehendaknya yg hrs dilaksanakan, penuh kelicikan demi memuluskan kepentingan2 pribadi/kelompok tertentu, dan seterusnya. Contoh: mengeluarkan produk hukum yg mementingkan kelompoknya tapi merugikan kelompok yg lain (yg minoritas, misalnya) hingga tak dapat berekspresi lagi, dan menutupi kesalahan2nya lwt berbagai media/sarana yg dikuasainya demi menggiring opini publik yg menguntungkan. Oleh karena itu, demokrasi sbagai salah satu sistem bernegara dan bermasyarakat bukan tanpa cacat!
Maka pada jaman Yunani kuno, menurut Plato hal untuk mengurus pemerintahan hrs diserahkan kpd “ahlinya”, yakni orang2 yg berpengertian tinggi dan berjiwa luhur, bukan sekedar melek huruf, pandai matematika, dllsb. Sebaliknya, apabila sudah terlanjur oleh para ‘mob’, mk tidak ada yg bisa merubahnya karena demokrasi sgt menjunjung tinggi prinsip “dari-oleh-untuk rakyat”, padahal rakyat dan opini publik tlh ada dlm kendali sang penguasa, kecuali dan hanya kecuali bila dpt terjadi sebuah REVOLUSI! Padahal hal ini tidak gampang dan butuh waktu yg amat sangat lama. Bdk. kasus Engkong Soeharto yg butuh 32thn untuk dapat me-lengser-kannya. Bahkan hingga kini byk kasus korupsi dan penindasan (baca: pelanggaran HAM) yg ikut “dikuburkan” seiring dikuburkannya jenazah ybs.
Selanjutnya mengenai sosok para anggota legislatif dan para menteri, menurutku dpt dikelompokkan ke dlm beberapa kategori, seperti: (1) yg memiliki masa lalu yg bermasalah {misalnya: kena kasus, terbuang, tersingkir, dllsb}, maka sang penguasa akan “dipandang” sbagai sang penolong sejati, sosok juru selamat; (2) yang pernah diloloskan dari kesulitan2 yg maha berat {misalnya: kedapatan mencuri uang negara, kedapatan selingkuh atau ketahuan miras/narkoba} maka sang penguasa akan “dipandang” sbagai sang pelindung; dan (3) yang pernah diberi fasilitas ato kemudahan untuk masa depan yg lebih baik {misalnya: dlm hal beasiswa, cari pekerjaan, pengunaan fasilitas negara, dllsb}, maka sang penguasa akan “dipandang” sbagai sosok yang maha kuasa. Pokoknya profil sang penguasa bak “manusia setengah dewa” {sperti lagunya Iwan Fals}. Pandangan2 sperti ini dipastikan akan menentukan sikap para legislator/menteri dlm byk hal, paling tidak selama sang penguasa itu masih memerintah ato menjabat.
Namun demikian, dalam byk kasus, ketika sang penguasa sudah ‘lengser’ maka para legislator/menteri dgn mudahnya berpindah posisi, tdk mau lagi dibawah kendali ybs, bahkan ada yg mulai dgn berani menentang beliau scr terbuka. Itulah yg biasa disebut dgn kaum opurtunis! Apalagi bila suatu waktu beliau meninggal dunia, para opurtunis akan merasa betul2 bebas dan MERDEKA. Kita tdk bisa kita menyalahkan mereka 100%, karena bukankah ada postulat bhw tidak kawan ato lawan yg ada abadi dlm berpolitik?! Yang lebih berbahaya adl ketika para opurtunis itu terpecah belah dan berlomba2 untuk membuka aib masa lalu, demi untuk mendapat belas kasihan dan/atau posisi baru dari rejim berikutnya.
Berbeda dgn kaum loyalis! Sekalipun langit runtuh, dunia kiamat, sang penguasa tetaplah yg terbaik, terunggul dan tak akan ada cacat cela, noda hina, pada sejarah hidupnya, hingga dia telah tiada sekalipun. Mereka akan menjadi pembelanya mati-matian, di dunia nyata maupun di dunia maya, bahkan hingga ke dunia akhirat bila diijinkan oleh Yang Ilahi…. (he,,he,,). Bdk. para loyalis Anas Urbaningrum yg ikut membela Anas dgn rela mundur dari Partai Demokrat, setelah Anas tdk lagi menjabat sebagai KETUM. Jadi kita lihat dan tunggu saja,,, hingga waktulah yg berbicara dan sejarah akan mencatat semuanya itu, seperti apa sikap para legislator/menteri itu saat semua masa jaya sang penguasa telah berlalu. Menjadi seorang opurtunis atukah seorang loyalis? Salam.
Posting Komentar