Oleh Yosafati Gulo
PEMBERIAN mandat oleh Ketua Umum
PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi untuk menjadi capres 2014- 2019
ibarat tabung oksigen bagi yang sesak napas di ruang harap-harap cemas atas
sikap Mega yang selama ini berkesan tertutup.
Bagi mereka, utamanya pendukung,
mandat itu terasa melegakan. Bagaimana dengan Prabowo? Jelas berbeda. Baginya,
berita itu ibarat letupan senapan yang mengarah langsung, dan ia pun langsung
merespons. Bukan sekadar mengelak, naluri ketentaraannya seakanakan membuatnya
siap bertarung. Reaksi publik pun bermunculan.
Joko Widodo (http://www.republika.co.id) |
Atas gejala itu, banyak yang
bersorak dan berharap muncul imbas signifikan bagi PDIPsekaligus Gerindra.
Mereka berharap hubungan PDIP dan Gerindra yang menguat saat Pilgub DKI Jakarta
2013, meredup. Dengan begitu, para pesaing PDIP dan Gerindra berharap
mendapatkan ”manfaat”. Dalam logika linier, gejala tersebut memang dapat
dipahami sebagai indikasi ”perpecahan”.
Berbagai lontaran pernyataan tak
sedap Prabowo kepada Jokowi menjadi semacam pembenaran. Tapi harap dicatat, ini
bukan dunia akademik melainkan dunia politik yang penuh strategi dan trik. Apa
yang tampil di permukaan sering berseberangan dengan tujuan sesungguhnya.
Apa yang diucapkan sering berbeda
dari isi hati. Tampaknya, pameo tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik
merupakan narasi dari ”pentas” yang dimainkan Prabowo dan Megawati.
Intinya, Mega dan Prabowo memasang
Jokowi sebagai vote getter. Dengan jatuh hatinya rakyat pada gaya
kepemimpinan
Jokowi, para pendukung partai lain, simpatisan atau pemilih pemula diyakini
beramai-ramai bergabung dengan PDIPdan memilih para caleg dari partai itu di
DPR/D. Kini terbukti, perolehan suara PDIP menguat, kendati ”Jokowi effect” tak
berpengaruh secara signifikan.
Prabowo Subianto (http://www.tempo.co/) |
Tapi perolehan suara dalam pileg
menguatkan posisi tawarnya dalam menentukan presiden periode 2014-2019. Bagi
sebagian masyarakat, sikap Megawati bisa dianggap menzalimi Prabowo. Wujud
kekecewaan mereka diluapkan dengan menghujat Megawati dan Jokowi.
Orang macam itu berasal dari banyak
latar belakang. Namun, sebenarnya banyak di antara mereka justru pendukung
setia Mega dan PDIP. Mereka tampil seolah-olah menyerang Mega dan Jokowi dengan
satu tujuan: menarik simpati pendukung partai di luar PDIP dan Gerinda supaya
mendukung Prabowo sebagai pihak yang dizalimi.
Faktor Penentu
Sebagai prajurit cerdas, Prabowo pun
mencoba tampil cerdas. Selama kampanye, ia seolah-olah mengamini opini itu,
memosisikan diri sebagai orang terzalimi dan seolah-olah memusuhi Jokowi.
Untuk meyakinkan publik, Prabowo
kerap menyelingi nada serangan terhadap Jokowi. Harapannya sama, agar simpati
publik terus mengalir ke Gerindra, dan pileg kemarin membuktikan.
Inilah strategi yang dirancang dan
dimainkan ”bersama” oleh Megawati dan Prabowo. Tujuan akhirnya jelas, bila PDIP
memenangi pemilu dan suara Gerindra meningkat seperti hasil sementara saat ini
maka dua partai itu jadi penentu perjalanan bangsa 5 tahun ke depan. Dalam
pilpres Juli mendatang, Prabowo akan diusung bersama PDIP dan Gerindra, dan
”dipastikan” menang.
Di sisi lain, Jokowi tetap memangku
jabatan Gubernur DKI Jakarta sampai 2019. Kombinasi Prabowo sebagai presiden
dan Jokowi sebagai Gubernur DKI diyakini akan memperlancar program
”pembersihan” bangsa ini dari hama korupsi.
Pelaksanaan program Jakarta Baru
yang digagas Jokowi-Ahok pun diyakini berjalan mulus karena mendapat dukungan
penuh dari Prabowo sebagai presiden. Tampilnya Prabowo sebagai presiden dan
Jokowi tetap pada posisi sebagai gubernur, tak berarti hiruk-pikuk politik
selesai.
Megawati Soekarnoputri (http://nasional.inilah.com) |
Apakah kita melaksanakan pileg dan
pilpres sekadar rutinitas memperebutkan kuasa? Ataukah ajang mendapatkan
pemimpin yang memiliki komitmen tinggi membangun bangsa dengan mengamankan
keutuhan NKRI dalam warna pluralisme, serta memberantas korupsi, narkoba, dan
terorisme? Andai jawabnya ya maka perlu segera menyadari bahwa tokoh semacam
itu tidak cukup hanya berkriteria cerdas dan tegas.
Selain cerdas dalam arti luas, harus
disertai sikap hidup, cara berpikir, bertindak, dan bergaya kepemimpinan
selaras dengan komitmennya.
_____
Catatan: Versi cetak tulisan di atas dapat dibaca pada harian Suara Merdeka Semarang edisi, 15 April 2014, hal. 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar